ADDITION OF RULES
PADA PASAL 18 UU PENYIARAN NOMOR 32 TAHUN 2002 DAN PASAL 9 UU PERS NOMOR 40
TAHUN 1999
Berkenaan
dengan tema “Peranan Pers dalam Menjaga Kepentingan Nasional” yang terkandung
dalam pesan (artikel) berjudul “Bersama Pers, Kita Jaga Kepentingan Nasional”
di www.darwinsaleh.com,
saya berpandangan bahwa saya tidak setuju pada kalimat dalam artikel tersebut
yang menyatakan bahwa media massa berwibawa. Namun sebelum membahas lebih jauh
mengenai peranan pers dan kaitannya dengan kewibawaan media saat ini, terlebih
dulu saya ingin menekankan bahwa dalam tulisan ini, orientasi pembahasan
tentang pers tidak hanya terpatok pada media cetak saja, namun juga media
elektronik, seperti televisi. Hal ini merujuk pada Pasal 1 ayat 1 dan 2 UU No
40 Tahun 1999 tentang pers. Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pers adalah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik
meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Sedangkan dalam Pasal
1 ayat 2 dijelaskan pula bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia
yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media
elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara
khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Menyoroti
kondisi media sekarang ini, baik cetak maupun elektronik, alasan saya tidak
setuju dengan pernyataan bahwa media massa berwibawa adalah karena seperti yang
dibahas dalam artikel “DKI dalam National Geographic” di www.darwinsaleh.com,
media di Indonesia lebih cenderung memuat berita yang bernada pesimis daripada
membangkitkan optimisme bangsa. Bad news
is a good news. Sehingga opini yang muncul di benak masyarakat adalah,
negara ini penuh dengan masalah yang tak ada habisnya, dan prestasi yang
sebenarnya ada, justru tenggelam begitu saja. Inilah alasan kenapa media massa
sarat akan kepentingan ekonomi. Dalam mencari profit, media lebih melihat sisi
menarik dari suatu berita, dan terkadang tidak memedulikan baik buruknya.
Bahkan lebih sering, sisi menarik itu adalah informasi yang cenderung bernada
pesimis atau negatif.
Selain
itu, alasan lain yang mendasari kewibawaan media sebagai pilar kelima negara
demokrasi menjadi luntur adalah karena isi berita yang juga sarat akan
kepentingan politik. Ini tidak lepas dari peran pemilik media yang justru
membiarkan dirinya menjadi bagian dari alur politik yang ada. Mereka seperti
tidak memedulikan bagaimana peran seorang pemilik media dalam menjaga
netralitas dari media yang dimilikinya. Media massa seakan menjadi kendaraan
politik untuk melanggengkan atau bahkan merebut kekuasaan yang diinginkan. Sehingga
dengan adanya masalah seperti ini, menjadikan eksistensi media sebagai lembaga
independen semakin diragukan. Dan peran pers dalam menjaga kepentingan nasional
tak pelak semakin surut akan kepercayaan dari masyarakat.
Adanya masalah
tersebut tidaklah lepas dari terjaminnya kebebasan pers saat ini yang memang tidak perlu
diragukan lagi. Setelah bebas dari kekangan orde baru, pers di Indonesia terus
bergerak secara massif dan cenderung terlalu bebas. Bahkan pers di negara ini
melampaui kebebasan yang ada di Amerika Serikat dan juga Jepang. Meskipun juga
menganut sistem liberal, namun pers yang ada di kedua negara tersebut jauh
lebih “dewasa” dalam menjalankan tugasnya. Di Jepang, betul secara konstitusional pers memiliki kebebasan, artinya
tidak secara eksplisit dinyatakan adanya larangan, namun banyak orang Jepang
yang lebih memikirkan atau memperhatikan tentang hubungan antar manusia, yang
diharapkan berjalan harmonis. Karena takut dikecam oleh masyarakat luas sebagai
“orang yang tidak baik”, orang-orang di Jepang lebih menghargai hubungan yang
harmonis dibandingkan kebebasan itu sendiri. Andaikan pers di sini bisa seperti
itu, pasti tidak ada yang akan mengedepankan kepentingan ekonomi maupun
politiknya. Berita yang disajikan akan jauh lebih berkualitas, bebas dari
kepentingan apapun, dan keresahan dalam masyarakat tidak akan terjadi.
Untuk itulah, dalam
tulisan ini,
saya ingin mengulas tentang
penyimpangan pers, khususnya masalah kepentingan politik dalam media. Saya tidak
membahas dari segi kepentingan ekonominya karena pelanggaran dalam bidang ini
telah diatur dalam kode etik jurnalistik, UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, serta
UU No 40 Tahun 1999. Menurut saya, ini menyangkut tentang penerapannya saja
yang belum maksimal, hingga muncul masalah seperti itu. Sedangkan mengenai
kepentingan politik, memang sudah diatur dalam ketiga peraturan di atas, namun
ada beberapa poin yang menurut saya perlu ditambahkan dan penting untuk
dicantumkan.
Berbicara
tentang kepentingan politik di atas, kepentingan nasional yang seharusnya
diunggulkan dan dikedepankan dalam suatu media, justru dibumbui oleh
kepentingan-kepentingan politik dari para pemiliknya. Sebut saja MNC Group yang
membawahi RCTI, MNC TV, Global TV, Koran Sindo, dan juga Okezone.com.
Pemiliknya yaitu Harry Tanoesudibjo, justru mencalonkan dirinya sebagai calon
wakil presiden dalam pemilu 2014 melalui Partai Hanura. Ditambah dengan
Aburizal Bakrie selaku owner dari
TVOne serta ANTV yang juga mencalonkan dirinya sebagai calon presiden dalam
pemilu 2014 dari Partai Golkar. Selain itu, juga ada Surya Paloh yang merupakan
Ketua Partai Nasdem, sebagai pemilik Metro TV serta Media Indonesia.
Kalau
para pemilik media tersebut tidak mencampuradukkan antara urusannya di media
dengan kepentingannya dalam partai politik, tidak jadi masalah. Namun sayangnya
itu tidaklah terjadi. Senetral apapun media, kalau pemiliknya adalah anggota
dari partai politik, maka mereka tidak akan bisa lepas dari kepentingan politik
yang dibawa oleh pemiliknya sendiri. Apapun itu caranya. Hal ini dicontohkan
dengan masa-masa menjelang pemilu seperti ini. Wajah Harry beserta pasangannya
yaitu Wiranto, mulai sering menghiasi layar televisi di RCTI. Bahkan saya
sempat menghitung, kurang lebih 4 kali dalam seminggu iklan tersebut ditayangkan.
Ditambah hanya iklan pasangan itu saja yang ditayangkan, tidak ada iklan dari
pasangan lain. Tidak berhenti si situ, selain menampilkan iklan, pasangan ini
juga menyajikan kuis yang dinamakan “Kuis Kebangsaan” melalui stasiun yang sama.
Sebenarnya kuis ini adalah hal yang positif, namun maksud pencitraan yang ada
di balik itu, tidak bisa disembunyikan. Apakah ketika nanti pemilu telah usai,
kuis ini akan tetap ada? Konsistensi itulah yang dipertanyakan.
Lain halnya
dengan RCTI,
di ANTV dan TVOne, mereka lebih memilih untuk menayangkan iklan ARB (Abu Rizal
Bakrie). Iklan tersebut
menayangkan bagaimana kepedulian Bakrie terhadap hidup para petani dengan turun
ke daerah persawahan membantu mereka melakukan pekerjaannya. Penuh dengan
pencitraan. Hanya hal-hal baik saja yang ditampilkan, padahal belum tentu kalau
nanti Bakrie benar-benar menjadi presiden, hidup para petani itu akan terjamin.
Selain Harry
Tanoesudibjo dan Aburizal Bakrie, Surya Paloh juga tidak mau kalah. Melalui
stasiun Metro
TV,
dia sering tampil memenuhi layar kaca dengan memberikan sambutan tentang
bagaimana kondisi bangsa ini, yang sebenarnya di balik itu ada maksud kampanye
bagi partai barunya yaitu Nasdem. Bahkan saya sempat menghitung, sebanyak 3
kali dalam 4 hari iklan tersebut ditayangkan.
Sebenarnya kita
tidak tahu secara pasti apakah maksud dari media memang ingin mengunggulkan kepentingan
politik dari pemilik medianya. Namun ketika kita berbicara atau memandang
sesuatu yang berbau politis, kita tidak akan pernah terbebas dari unsur
kecurigaan. Seperti halnya dengan kejadian di atas. Dalam memandang media yang
dikonglomerasi oleh petinggi partai, kita tidak bisa untuk terus menerus
berbaik sangka atas semua berita yang disiarkan. Sekarang langsung ke pembuktian
saja, kalau memang media-media tersebut merasa dirinya netral dan independen,
iklan dari pemilik media itu akan ditayangkan secara seimbang dengan pasangan
lain, baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk itu, di sinilah letak kenapa
media disebut sebagai tempat pertarungan wacana. Media sarat akan berbagai
macam kepentingan yang menjadikan media itu kehilangan wibawa serta
independensinya. Padahal perlu kita ingat bahwa frekuensi itu adalah milik
rakyat yang harus digunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat, dan
bukan sebaliknya. Namun kembali lagi, karena kepentingan politik itu terasa
begitu kental, media menuntut kita untuk lebih pintar dalam memilih informasi mana
yang harusnya diambil dan mana yang tidak. Karena sekali saja kita lengah
dalam mengawasi maksud di balik semua berita yang ada, maka kita akan terbawa arus
kepentingan yang dibuat oleh media itu sendiri.
Merujuk
pada Pasal 17 ayat (1) dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang pers, dijelaskan bahwa
masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan
menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Sedangkan Pasal 17 ayat (2) dalam
undang-undang yang sama, disebutkan pula kalau kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat berupa memantau dan melaporkan analisis mengenai
pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers
serta menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan
meningkatkan kualitas pers nasional.
Dengan
demikian, sebagai warga negara yang ingin menjaga dan meningkatkan kualitas
pers nasional, baik itu cetak maupun elektronik, akan lebih baik bila diadakan addition of rules pada Pasal 18 UU
Penyiaran No 32 tahun 2002 serta Pasal 9 UU Pers No 40 tahun 1999. Langkah ini
perlu dilakukan guna menambahkan beberapa poin yang intinya adalah larangan
bagi pemilik media, baik elektronik maupun cetak, untuk tidak bergabung dengan
partai politik manapun. Sedangkan masalah hukumannya, saya menyerahkan
sepenuhnya pada yang lebih berwenang. Apakah dikenai denda, pencabutan izin
penyelenggaraan siaran, ataukah dalam bentuk lain. Yang pasti jangan hanya
berbentuk teguran secara tertulis maupun lisan saja. Harus ada hukuman yang
bisa memberikan efek jera bagi pelakunya agar tidak melakukan hal yang sama dan
memberi pelajaran untuk yang lain.
Larangan
tersebut perlu dicantumkan karena dalam Pasal 18 UU Penyiaran No 32 Tahun 2002,
hanya dijelaskan mengenai pembatasan dalam hal kepemilikan media, tanpa
mengatur tentang kriteria dari pemilik media itu sendiri. Ditambah dengan Pasal
9 dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap warga negara
Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, tanpa penjelasan
tentang warga negara yang seperti apa.
Dengan
begitu, addition of rules yang telah
dijelaskan sebelumnya bukan bermaksud untuk mengekang kebebasan seseorang dalam
mengikuti partai politik manapun atau membatasi hak asasi manusia yang dimiliki
oleh setiap individu. Hanya saja, akibat tingkah para pemilk media yang telah
melebihi batas kebebasan itulah yang menyebabkan langkah ini perlu dilakukan. Batas
kebebasan dalam Pasal 28 UUD 1945 telah dilanggar, dan kode etik jurnalistik tentang
larangan berita yang berpihak juga tidak dihiraukan. Kalau seperti itu terus, cara
lain untuk mencegahnya adalah pemilik media tidak boleh bergabung dalam partai
politik manapun agar kenetralan dan independensi media dalam negara demokrasi
bisa lebih terjaga.
Oleh
karena itu, bila larangan tersebut bisa dicantumkan dalam Pasal 18 UU Penyiaran
No 32 Tahun 2002 serta Pasal 9 UU Pers No 40 Tahun 1999 dan diterapkan dengan
baik, maka saya yakin, media di Indonesia mampu diandalkan dan menjadi garda
terdepan dalam menjaga kepentingan nasional menuju Indonesia yang lebih baik.
Daftar
Referensi:
1.
UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
2.
UU Pers No. 40 Tahun 1999
3.
Kode Etik Jurnalistik
4.
Sudjono, Ilya
Revianti, Budaya Sensor-Diri Dalam
Kebebasan Pers Di Jepang, Makara, Sosial Humaniora, Vol.10, No.1, Juni
2006, dan diakses dari http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/view/12/8.
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”.
9 komentar:
meskipun Q ndak paham tentang politik, tapi memang calon pemimpin di indonesia mencalonkan untuk menambah pundi2 saku mereka bukan mengolah uang negara untuk kesejahteraan orang2 yang dipimpinnya............. >_<
tulisannya sudah bagus..
masukan ya ^, pertama, ketika berbicara tentang judicial review, maka ada norma atau uu yang merugikan kepentingan pemohon yang mengajukan baik secara materiil maupun formil, kemudian harus ada norma yang berbenturan atau tidak sinkron, artinya ketika ketika sebuah UU di judicial review, maka uu tersebut normanya bertentangan dengan UUD. sebagaimana fungsi dari judicial review di tingkat UU dan UUD adalah MK (kewenangan MK pengujian UU).
kedua, ketika dalam tulisan diatas ada frasa "mengusulkan pasal" dalam sebuah UU, maka hal itu tidak di ajukan ke MA ataupun MK, namun penambahan pasal lebih kepada Legislatif review, atau review oleh lembaga pembuat UU, atau dalam hal ini DPR.
makasih - haris -
nah, kemudian ketika ada tambahan larangan pemilik media untuk ikut bergabung dengan partai politik,
pertanyaannya, apakah tidak bertentangan dengan HAM? kemudian tidak bertentangan dengan UUD 45.
dan dalam hal ini hak politik dari individu, sebagaimana indonesia sudah ratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil dan politik.
Makasih mas atas masukannya. Berkat masukan itu aku jadi lebih paham. hehe. Dan karena masukannya juga, essaynya udah tak ubah untuk penggunaan istilah judicial review :). Sedangkan menanggapi untuk pertanyaan tentang apakah tidak bertentangan dengan HAM? Aku berpikir pemilik media itu kan udah diberi kebebasan untuk mereka berpendapat atau berkumpul sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945. Namun pada kenyataannya, mereka menggunakan haknya tersebut secara berlebihan atau melewati batas. Sehingga, apa yang mereka perbuat harus ada konsekuensinya. Dan konsekuensinya itu adalah larangan untuk ikut partai politik. Bisa dibilang, larangan itu akibat dari ulah pemilik media itu sendiri. Di lain sisi, larangan ini juga langkah tambahan untuk mencegah agar media di Indonesia bisa lebih netral dan independen. Karena dalam kode etik, UU Penyiaran, dan UU Pers sebenarnya sudah dilarang bila media berpihak pada kepentingan pihak atau kelompok tertentu. Tapi, aturan itu tidak dihiraukan oleh mereka.
Bagus dek...sedikit menambahkan, jangan terlalu fulgar menyebut perusahaaan atau nama tokoh secara langsung...
Kal bisa dibikin inisial aja
mungkin bisa dicontohkan mas?
Ya, media massa memang sebenarnya berwibawa, hanya saja banyak faktor2 lain yang membuat kewibawaan itu kian meluntur, seperti memuat berita yang bukan merupakan fakta karena takut pada pihak tertentu, banyak juga contoh lain.
silakan berkunjung ke site saya: http://sofia-zhanzabila.blogspot.com/2014/01/negeri-cincin-api-negeri-surga-di-balik.html
Terimakasih atas komentarnya :)
Lagi ngga bisa mikir tulisan berat selama liburan ini, Rin. -_-
Cuma mau nambahin aja, iklannya WINT-HT ngga cuma 4 kali seminggu. Selain Kuis Kebangsaan di RCTI, mereka juga punya Kuis Indonesia Cerdas di GlobalTV.
Terus, iklan si bapak brewok bersama partainya juga nongol sehari berapppaaaa kaliii saking banyaknya dan emang ngga ngitung.
Sukses, yak :)
Posting Komentar