Minggu, 25 Agustus 2013


Wajah Korupsi di Indonesia
A.    Pendahuluan
Korupsi dan Indonesia merupakan dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Karena seringkali jika kita berbicara tentang Indonesia maka kita akan mengaitkannya dengan masalah korupsi. Hal ini sangatlah wajar terjadi, mengingat masalah korupsi sudah menjadi semacam penyakit kanker yang telah merusak jaringan syaraf tubuh negara. Jadi, tidak bisa disalahkan jika masyarakat Indonesia sendiri tidak pernah bosan atau tidak henti – hentinya membicarakan masalah korupsi yang ada di negeri ini.
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan – permasalahan korupsi yang ada di negeri ini, tentunya kita harus mencermati terlebih dahulu definisi dari korupsi itu sendiri. Dr. Artidjo Alkostar, SH., LLM, menyatakan:
“Korupsi politik adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintahan negara yang memiliki dampak terhadap keadaan politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang dan atau pihak-pihak yang memiliki jabatan atau posisi politik. Korupsi politik ini bisa dilakukan oleh presiden, kepala pemerintahan, para menteri suatu kabinet yang pada dasarnya memiliki jabatan politis, anggota parlemen, dapat dikualifikasikan sebagai korupsi politik, karena perbuatan itu dilakukan dengan mempergunakan fasilitas atau kemudahan politis yang dipunyai oleh pelaku. Fasilitas yang disalahgunakan tersebut pada dasarnya merupakan amanat atau kepercayaan yang diberikan oleh rakyat” (Alkostar, Artidjo, 2008:19).
B.     Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Jika berbicara mengenai faktor penyebab korupsi itu sendiri, akan banyak sekali pendapat dari para ahli mengenai hal ini. Salah satunya adalah Dyatmika Soemodihardjo. Dalam bukunya yang berjudul Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Dyatmika menjelaskan bahwa dua faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu faktor subyektif yang ada pada pelaku berupa “niat” dan faktor obyektif yang ada di luar diri pelaku berupa “kesempatan” yang ditimbulkan oleh kondisi/keadaan yang memungkinkan dilakukan korupsi[1]. Memang benar apa yang dikatakan oleh Dyatmika tersebut. Ketika seorang pejabat atau tokoh elit politik itu memiliki niat untuk berkorupsi, maka apapun caranya dan bagaimanapun resikonya tidak akan dia pedulikan. Dalam hal ini, ungkapan “There is a will, there is a way” sepertinya memang benar-benar mereka terapkan. Selain dengan memiliki niat, para pejabat atau tokoh elit politik itu juga didukung oleh kesempatan, yang dalam hal ini adalah kekuasaan yang mereka miliki.
Jadi ibaratnya, antara niat dan kesempatan adalah dua faktor yang saling berhubungan satu sama lain. Ketika seorang pejabat mempunyai niat, tapi dia tidak memiliki kesempatan atau kekuasaan untuk menjalankan niat itu, maka dia tidak akan bisa melakukan korupsi. Begitu juga sebaliknya, ketika seorang pejabat itu hanya memiliki kesempatan atau kekuasaan, tetapi sama sekali tidak ada niat untuk melakukan korupsi, maka korupsi itu sendiri juga tidak akan terjadi.
Dalam buku yang sama, juga dijelaskan mengenai teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (GONE Theory), bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan (baca : “korupsi”) meliputi:
-          Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang
-          Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
-          Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
-          Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan[2]
Tidak hanya Dyatmiko, Artidjo Alkostar juga menjelaskan bahwa penyebab korupsi politik, yaitu: (1) Nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan, karena kekuasaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan kewarganegaraan. Terutama kewenangan untuk mendistribusikan ekonomi dan sumber daya alam, serta kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan politik; (2) Tersedianya sarana dan fasilitas ekonomi dan politik yang steril dari budaya dialogis; (3) Tidak adanya kontrol efektif dari rakyat; (4) Faktor iklim sosial politik yang krisis keteladanan dan kevakuman moral; (5) Faktor iklim penegakan hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas penegak hukum merosot, karena adanya krisis institusi dan mental aparat penegak hukum[3].
Kalau dihubungkan, sebenarnya terdapat beberapa kesamaan antara teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (GONE Theory) dan juga pendapat dari Artidjo Alkostar. Hanya saja pengungkapannya yang berbeda.
“Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang” mengandung maksud yang sama dengan “Nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan, karena kekuasaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan kewarganegaraan. Terutama kewenangan untuk mendistribusikan ekonomi dan sumber daya alam, serta kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan politik”.
“Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan” mengandung arti yang sama dengan “Tersedianya sarana dan fasilitas ekonomi dan politik yang steril dari budaya dialogis”.
“Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan” juga mengandung esensi yang sama dengan “Faktor iklim penegakan hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas penegak hukum merosot, karena adanya krisis institusi dan mental aparat penegak hukum”.
C.    Contoh Kasus Korupsi
Menanggapi faktor penyebab korupsi yang sudah dijelaskan oleh Dyatmika  Soemodihardjo dan Artidjo Alkostar di atas, yang ingin ditekankan oleh penulis adalah bahwa dari faktor-faktor tersebut yang paling mempengaruhi atau yang paling dominan dalam menyebabkan seorang pejabat pemerintah berani untuk melakukan korupsi adalah karena kekuasaan. Memang benar jika dikatakan bahwa korupsi itu muncul karena adanya niat untuk melakukan. Akan tetapi, niat itu akan muncul ketika seorang pejabat pemerintah itu memiliki kekuasaan.
Ada satu contoh kasus yang bisa digunakan untuk membuktikan hal tersebut. Misalnya saja yaitu kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games menyasar pada Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, Nazaruddin. Nama Nazaruddin muncul setelah KPK menangkap basah Mindo Rosalina Manulang dan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam bersama cek senilai Rp 3,2 miliar pada 21 April lalu. Rosalina mengaku sebagai anak buah Nazaruddin di PT Anak Negeri[4].
D.    Analisis Kasus
Dalam kasus di atas, bisa dianalisis bahwa jelas-jelas ada kesempatan atau sarana dan fasilitas politik, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai kekuasaan atau jabatan, yang menjadikan Nazaruddin selaku bendahara umum DPP Partai Demokrat maupun Sekretaris Kemenpora, Wafid Muharam, berani untuk menggunakan kekuasaan mereka sebagai alat melakukan tindak pidana korupsi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Paulus Londo dalam artikelnya yang berjudul “Korupsi dan Keruntuhan Penguasa” berpendapat bahwa korupsi senantiasa erat dengan kekuasaan. Sebab korupsi hanya bisa terjadi jika seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan. Sebaliknya, korupsi bisa menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Bahkan menurut Lord Acton, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut juga korupsinya absolut (power tends to corrupt, absolutly power tends to absolutly corrupt)[5].
Korupsi memang sangat sulit untuk dihindari. Apalagi seperti yang sudah diuraikan bahwa, korupsi sangat sulit dihindari di kalangan pejabat yang “dipayungi” oleh kekuasaan. Kekuasaan bisa dibilang sebagai bumerang bagi siapa saja yang memilikinya. Ketika kekuasaan itu bisa dimanfatkan dengan sebaik-baiknya, maka tentu kekuasaan itu akan mendatangkan manfa’at tidak hanya bagi yang memiliki tapi yang paling utama adalah bagi kesejahteraan rakyat. Begitu juga sebaliknya, ketika kekuasaan itu justru diselewengkan, maka itu akan benar-benar mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi yang memilikinya dan juga bagi kesejahteraan rakyatnya.
Berkaitan dengan hal tersebut Aristoteles mengatakan bahwa dia menganjurkan suatu bentuk pemerintahan supaya berjalan normal harus berlandaskan konstitusi (politeia). Konstitusi sangat vital bagi membangun pemerintahan yang baik, dan merupakan payung Negara yang mengendalikan kekuasaan agar tidak diselewengkan karena hukum memberi aturan main pada kekuasaan, yang wajib dijalankan secara konsekuen, praktis dan relistis[6]. Pemikiran Aristoteles ini memang sangat bijak jika digunakan untuk menanggapi permasalahan mengenai pembatasan ataupun pengendalian kekuasaan. Dan sebenarnya Negara Indonesia sudah menjalankan apa yang menjadi pemikiran dari Aristoteles tersebut. Hal ini ditunjukkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Tentunya dengan menjadi negara hukum, seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara harus berlandaskan konstitusi atau hukum yang berlaku. Tidak terkecuali masalah kekuasaan.
Akan tetapi, kenapa ketika sudah ada konstitusi atau hukum yang berlaku, kekuasaan yang diselewengkan demi melakukan tindak pidana korupsi masih saja merajalela dimana-mana? Mungkin dengan satu contoh kasus ini akan menjawab pertanyaan tersebut.
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Penindakan, Bambang Widjojanto mengatakan dua hakim ad hoc yang ditangkap KM dan HK adalah hakim yang sejak lama dipantau KPK dan Mahkamah Agung. Keduanya adalah hakim yang telah beberapa kali memvonis bebas terdakwa dalam kasus korupsi di Pengadilan Tipikor[7]
Berdasarkan contoh di atas, jelas-jelas ini membuktikan bahwa bukannya hukum mengadili seadil-adilnya bagi tersangka tindak pidana korupsi, tapi justru memberikan vonis bebas bagi tersangka tersebut. Vonis bebas yang diberikan oleh hakim ad hoc di pengadilan tipikor kepada terdakwa tindak pidana korupsi bisa dimungkinkan merupakan sebuah hasil dari hubungan kerjasama antara hakim dengan tersangka yang ditandai dengan adanya kasus suap diantara mereka. Bukankah ini merupakan lelucon bagi sebuah negara hukum? Hukum yang seharusnya bertindak fair terhadap semua penyelewengan yang terjadi di negeri ini, tetapi justru harus takluk pada yang namanya “uang”. Jadi memang realitasnya, seorang ahli hukum yang memiliki basis pendidikan hukum yang luas, tidak menjamin bahwa mereka akan menjadi seorang penegak hukum yang adil dan bijak. Dan ternyata, uang memang membutakan mata setiap orang dengan segala profesinya.
Dalam artikelnya yang berjudul “Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusaha”, Bakaruddin Is, seorang pensiunan PNS di Departemen Pertanian, menyatakan:
“Bahkan pasal-pasal dalam pembuatan Undang-Undang pun dapat diperjual belikan. Tinggal “user” maunya apa. Pantas saja banyak UU yang tidak memihak kepada kepentingan Nasional atau rakyat banyak, tetapi untuk kepentingan asing dan para pejabat”[8].
Pernyataan dari Bakaruddin Is tersebut, tentu menyadarkan kita bahwa sekarang ini untuk mencari keadilan hukum yang seadil-adilnya, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan proses dan perombakan kebijakan yang sangat lama. Akan tetapi, sebenarnya proses serta perombakan kebijakan tersebut akan berjalan dengan cepat apabila didukung juga oleh kesadaran diri dari masing-masing individu.
Solusi Penyelesaian
Oleh karena itu, dengan kasus korupsi yang semakin merajalela di berbagai lapisan masyarakat khususnya di kalangan para pejabat yang memiliki kekuasaan penuh dan dengan beberapa masalah lemahnya hukum di Indonesia yang bukannya menjadikan hukum sebagai alat untuk memberantas korupsi, tapi justru menjadi alat untuk menyuburkan korupsi di negeri ini, ada beberapa solusi yang bisa dijadikan sebagai rujukan yang mungkin setidaknya bisa mengurangi korupsi yang ada di negeri ini. Solusinya antara lain:
1.      Diperlukan adanya perubahan sistem hukum dan sistem penegakan hukum dalam upaya penanggulangan korupsi di Indonesia.
Hukum yang sebenarnya sudah ada dan tercantum harus benar-benar ditegakkan supaya tidak menjadi omong kosong belaka.
2.      Diperlukan adanya ketegasan implementasi Code of Conduct dan konsistensi hukuman yang tepat bagi koruptor agar berdimensi prevensi umum dan prevensi khusus[9].
Misalnya saja, korupsi dengan memberikan hadiah kepada seorang hakim, jaksa atau seorang penasihat dengan maksud untuk mempengaruhi putusan atau pertimbangan mengenai suatu perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, diatur dalam pasal 210 KUHP dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun[10].
3.      Dibutuhkan adanya kesadaran kolektif rakyat untuk melawan praktek korupsi.
Jika mungkin hukum yang berlaku belum bisa membuat korupsi di negeri ini berkurang, kesadaran rakyat yang bisa diwujudkan dalam berbagai aksi misalnya saja demonstrasi bisa menjadi salah satu alternatif penyelesaiannya. Hal ini bisa dibuktikan dengan peristiwa tahun 1998 yang menunjukkan bagaimana kesatuan tekad mahasiswa demi menjatuhkan rezim Soeharto dan menggantinya dengan era reformasi, benar-benar terwujud.
4.      Memaksimalkan peran partai politik sebagai tempat kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional.
Sebagai negara demokrasi, tempat bagi kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional adalah dalam partai politik. Dan tentunya partai poltik itu sendiri memiliki spesifikasi tujuan dalam keberjalanannya. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bapak Ganjar Pranoto bahwa salah satu tujuan khusus partai politik adalah untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[11]. Dengan memiliki tujuan seperti itu, dan peran partai poltik sebagai tempat kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional, seharusnya partai politik di Indonesia bisa mencanangkan suatu pendidikan politik yang benar-benar mengajarakan kepada para kadernya tentang pentingnya pemahaman serta implementasi ideologi.
5.      Memaksimalkan Kinerja dari KPK sebagai Badan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Akhir-akhir ini meskipun sempat dilanda beberapa konflik, KPK mampu menunjukkan kepada masyarakat tentang kinerjanya dalam memberantas korupsi di Indonesia. Ditambah lagi dengan gerak KPK yang semakin “gencar” dalam menangkap pelaku-pelaku korupsi itu. Yang terakhir dan yang sempat menghebohkan adalah menjadikan Menpora Andi Mallarangreng sebagai terdakwa kasus korupsi Hambalang.
Selain itu, juga rencana KPK yang ingin “memiskinkan” koruptor harus benar-benar terwujud. Mengenai rencana ini dijelaskan bahwa terobosan hukum yang digunakan KPK adalah penggunaan Pasal 18 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang pembayaran uang pengganti dan penyitaan hasil korupsi. Pasal itu biasa digunakan untuk korupsi yang mengakibatkan kerugian negara secara langsung. Namun, tidak lazim digunakan untuk dakwaan korupsi berupa penerimaan suap[12].
6.      Pemberian remisi kepada para koruptor harus dihilangkan.
Sebenarnya sudah ada aturan mengenai pemberian remisi ini. Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Keppres No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, ada tiga macam remisi yaitu remisi umum, remisi khusus (termasuk remisi khusus yang tertunda remisi khusus bersyarat[13]), dan remisi tambahan. Remisi umum diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan, dan remisi khusus diberikan pada hari besar keagamaan (yang paling dimuliakan) yang dianut oleh para narapidana dan anak pidana yang bersangkutan.
Akan tetapi yang harus diingat adalah koruptor merupakan orang yang telah menghabiskan uang negara dan merugikan seluruh warga negara Indonesia. Kenapa orang seperti itu harus diberi remisi? Walau itu hanya untuk alasan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan ataupun hari besar keagamaan. Penjara yang hanya beberapa tahun saja yang tentunya tidaklah sebanding dengan perjuangan rakyat yang harus berkorban demi membayar pajak, ataupun yang lainnya. Apalagi ditambah jika diberi remisi oleh pemerintah. Bukankah ini adalah salah satu langkah untuk “memanjakan” koruptor dan bukan untuk memberantasnya? Bagi penulis yang pantas bagi orang seperti itu seharusnya bukan remisi melainkan penjara seumur hidup dan pengembalian uang rakyat dengan jumlah yang sama seperti yang telah dikorupsi.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

1.      Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, cetakan pertama, Juni 2008.
2.      Lamintang, SH.,Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991.
3.      Purwasito, Andrik, Pengantar Studi Plitik, Cetakan I, Oktober 2011, Surakarta, UNS Press.
4.      Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Alfa R. (editor), Cetakan I, Juli 2008, Jakarta, Prestasi Pustaka.

Internet:

1.      Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari: http://birokrasi.kompasiana.com/2011/05/19/korupsi-apbn-kolusi-penguasa-dengan-pengusaha/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 16.00 WIB.
2.      Paulus Londo (Korupsi dan Keruntuhan Penguasa, 8 Februari 2012, pukul 14:40), diakses dari: http://politik.kompasiana.com/2012/02/08/korupsi-dan-keruntuhan-penguasa/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 15.00 WIB.
4.      Simarmata, Berlian, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Korupsi dan Teroris, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, dan diakses dari:

Pemaparan langsung:

Pemaparan langsung oleh Bapak Ganjar Pranoto (Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI) dalam seminar politik yang diadakan di aula FISIP UNS pada tanggal 15 Desember 2012 pukul 09.15 WIB mengenai “Optimalisasi Budaya Politik Masyarakat Guna Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Nasional Yang Ideal” (ppt).


[1] Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Alfa R. (editor), cetakan pertama, Juli 2008, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm. 24.

[2] Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, Jakarta, 1999, h 467 dalam Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Alfa R. (editor), cetakan pertama, Juli 2008, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm. 24.


[3] Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, cetakan pertama, Juni 2008, FH UII Press, Yogyakarta, hlm.383.
[4]Pernyataan ini didapat dari artikel yang ditulis oleh Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari:
[5]Pernyataan ini didapat dari artikel yang ditulis oleh Paulus Londo (Korupsi dan Keruntuhan Penguasa, 8 Februari 2012, pukul 14:40), diakses dari:
[6] Purwasito, Andrik, Pengantar Studi Plitik, Cetakan I, Oktober 2011, Surakarta, UNS Press, hlm. 31.
[7] Pernyataan ini ditulis pada hari Jum'at, 17 Agustus 2012 , 16:15:00 dan diakses dari http://www.jpnn.com/read/2012/08/17/137122/2-Hakim-Tipikor-Tertangkap-Tangan-Sering-Bebaskan-Terdakwa-, pada tanggal 29 Desember 2012.
[8]Pernyataan ini didapat dari artikel yang ditulis oleh Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari:


[9] Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, Cetakan I, Juni 2008, Yogyakarta, FH UII Press, hlm. 389.
[10] Lamintang, SH.,Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991, hlm. 263.
[11] Ganjar Pranoto (Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI) dalam seminar politik yang diadakan di aula FISIP UNS pada tanggal 15 Desember 2012 pukul 09.15 WIB mengenai “Optimalisasi Budaya Politik Masyarakat Guna Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Nasional Yang Ideal” (ppt).
[12] KPK Miskinkan Koruptor” dipost pada tanggal 24 Desember 2012 - 08.31 WIB dan diakses dari: http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=21484&kat=2#.UN8Q-azd6So, pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 23.55 WIB.
[13] Diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. M.01.HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat serta Remisi Tambahan dalam Simarmata, Berlian, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Korupsi dan Teroris, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011,  hlm. 509, dan diakses dari:
Desember 2012 23.30 WIB




Harapan Bagi Kader Pemimpin Nasional

Undang – undang RI nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuan – ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, misalnya, merumuskan kesejahteraan Sosial sebagai:
Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan – kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial, yang sebaik – baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak – hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.
Pengertian kesejahteraan sosial juga menunjuk pada segenap aktivitas pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung (Edi Suharto, Ph.D.,2005). Akan tetapi, sekarang kita bisa melihat dan merasakan sendiri bahwa kesejahteraan sosial di negeri ini masih sangat jauh untuk bisa dikatakan layak.  Bahkan, Indonesia masih sangat tertinggal jauh dengan Amerika, Cina, Jepang, Singapura, dan berbagai negara maju lainnya. Sekarang, misalnya saja Jepang. Setelah hancur akibat tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat untuk mampu bangkit dari segala keterpurukan. Entah itu keterpurukan dalam bidang kesejahteraan sosial ataupun dalam bidang pertumbuhan ekonominya. Sedangkan Indonesia? Kapan Indonesia akan bangkit?
Ketika sebelum krisis ekonomi terjadi, kesejahteraan sosial di Indonesia bisa dibilang mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Menurut data yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik, proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan yang pada tahun 1978 mencapai 55% telah berhasil diturunkan secara signifikan sehingga pada tahun 1996 hanya sebesar 11%.  Akan tetapi, semua itu berubah ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997. Dengan pertumbuhan PDB yang anjlok dari rata – rata sebesar 7% pada tahun 1996 menjadi pertumbuhan negatif sebesar -14% pada tahun 1998.
Setelah terjadi krisis ekonomi tersebut, bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih belum mengalami perkembangan yang signifikan. Dan keterpurukan ekonomi pada krisis ekonomi tahun 1997 tersebut sangat berdampak terhadap kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia sampai saat ini. Sekarang, masih begitu banyak rakyat yang berkubang dalam kemiskinan. Masih begitu banyak rakyat yang terkatung – katung menunggu kejelasan nasibnya. Begitu banyak anak – anak yang tidak mendapatkan pendidikan secara layak. Begitu banyak rakyat yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Di tengah – tengah kesejahteraan sosial masyarakat yang begitu rendah, di sisi lain kita bisa melihat bagaimana para birokrat yang gila akan harta dan kekuasaan bersenang – senang dengan empuknya kursi kekuasaan serta harta yang mereka miliki. Apa yang dirasakan oleh bangsa Indonesia sekarang? Seberapa besar kerja keras mereka untuk menghidupi keluarga mereka? Apakah tetesan keringat mereka cukup untuk membiayai pendidikan anak –anak mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin saja tidak terdengar  atau bahkan hanya menyentuh jidat para birokrat tersebut. Mungkin mereka berpikiran, untuk apa memikirkan nasib orang lain jika nasib sendiri saja sudah mujur, untuk apa menyia – nyiakan uang rakyat jika tidak untuk dimanfaatkan. Jika perilaku para birokrat itu kita hubungkan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi di negeri ini, mungkin kita bisa berpikiran bahwa bagaimana tidak kecil pertumbuhan ekonominya, kalau setiap hari uang rakyat dimakan habis – habisan oleh para tikus yang lapar akan harta dan materi tersebut.
Disamping itu, ketika para tikus itu memakai pakaian dengan harga yang mahal, mobil yang mewah, atau bahkan memiliki rumah yang megah sekalipun, apakah mereka tidak menyadari bahwa pakaian yang mereka kenakan, mobil yang mereka naiki, rumah yang mereka tinggali itu merupakan uang rakyat yang diperoleh dengan penuh perjuangan dan pengorbanan?
Negara Indonesia memang dikaruniai kekayaan alam yang sangat melimpah. Baik dari perikanannya, pertaniannya, pertambangannya, hutannya, bahkan berjuta – juta spesies baik flora maupun fauna langka bisa ditemukan di Indonesia. Akan tetapi  mengapa semua kekayaan alam itu tidak diimbangi dengan kekayaan moral para pejabatnya? Ketika kekayaan alam kita semakin hari semakin punah, tetapi mengapa kekayaan hasil korupsi justru tumbuh dengan subur di negeri ini? Sekali lagi, itulah Indonesia. Kekayaan alam melimpah tapi kemiskinan tumbuh dimana – mana. Sumber daya alam yang langka begitu banyak di negeri ini, tapi sumber daya manusia yang berkualitas justru langka ditemukan.
            Jika ditanya tentang motif para birokrat yang gila akan harta dan kekuasaan itu begitu tega memakan uang rakyat, pasti akan muncul berbagai macam alasan.Tapi yang jelas, dengan alasan apapun, perbuatan mereka adalah perbuatan yang benar – benar sangat disayangkan. Sangat disayangkan karena, mereka menggunakan kepintaran mereka bukannya untuk mensejahterakan rakyat tapi justru untuk membuat rakyatnya menderita. Untuk apa para birokrat itu memiliki pendidikan yang tinggi, bahkan sampai ke luar negeri, jika ilmunya hanya untuk membuat rakyat sengsara. Untuk apa mereka memiliki begitu banyak harta, memiliki jabatan yang tinggi jika rakyatnya hidup serba kekurangan. Apaka para birokrat itu tidak memiliki hati nurani melihat berbagai realita kehidupan rakyat yang sudah nampak jelas di depan mata mereka? Apakah hati nurani mereka sudah buta akan harta, materi, dan kekuasaan? Kenapa negara lain bisa disegani karena kredibilitasnya sedangkan Indonesia justru disegani karena korupsinya?
Saat ini, rakyat tidak hanya membutuhkan sosok pemimpin yang pintar. Percuma saja pemimpin itu pintar dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas kalau mereka menggunakan kepintaranya itu hanya untuk menindas rakyat. Rakyat tidak hanya membutuhkan sosok pemimpin yang suka mengobral janji. Percuma saja, jika pemimpin itu memiliki janji yang begitu banyak tapi sampai sekarang  tidak ada satupun yang mereka tepati.  Rakyat tidak hanya membutuhkan sosok pemimpin yang memilik wibawa tinggi. Percuma saja jika pemimpin itu meimiliki wibawa tinggi, kalau dibalik kewibawaannya itu tersimpan keinginan untuk memakan uang rakyat. Rakyat tidak hanya membutuhkan sosok pemimpin yang pandai berbicara. Percuma saja, jika pemimpin itu memiliki kepandaian berbicara, kalau bicaranya itu hanya manis di mulut saja dan tidak ada realisasinya.
Di dalam keterpurukan seperti ini, rakyat membutuhkan bukti, bukti, dan bukti dari berbagai janji yang telah didengung – dengungkan oleh para birokrat. Rakyat membutuhkan sosok pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya. Pemimpin yang tidak hanya duduk di kursi singgasana mereka ketika melihat rakyatnya berkubang di tengah kemiskinan. Pemimpin yang memberikan rasa aman bagi rakyat dan bukan membuat gelisah karena tingkah laku mereka. Pemimpin yang mensejahterakan rakyatnya, dan bukan mensejahterakan dirinya sendiri. Pemimpin yang sigap dalam menangani berbagai persoalan dan bukan bersembunyi di balik kekuasaan yang mereka miliki.
Dengan demikian, untuk mencetak pemimpin yang ideal guna mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat dan memberantas adanya tindak penyelewengan kekuasaan seperti yang telah diuraikan di atas, maka dibutuhkan kaderisasi pemimpin nasional yang handal. Kaderisasi itu bisa dimulai dari masing – masing partai politik yang merupakan salah satu alur birokrasi, untuk mencetak pemimpin baru. Akan tetapi, kaderisasi yang terjadi di dalam partai politik itu sendiri dinilai telah gagal. Dan kegagalan itu berasal dari partai – partai yang besar. Seperti Partai Demokrat Atau Partai Golkar. Salah satu indikator kegagalan itu dilihat dari banyaknya kader dari partai – partai tersebut yang dijebloskan ke penjara akibat tindak pidana korupsi yang mereka lakukan. Sedangkan kegagalan itu diakibatkan oleh sedikitnya kader partai politik yang memiliki pemahaman  ideologi secara tegas dan konsisten terhadap ideologi kepartaian.
Oleh karena itu, diharapkan dari masing – masing partai politik untuk bisa menetapkan mekanisme yang paling efektif baik di internal partai maupun di eksternal partai guna mencetak kader pemimpin yang handal, jujur, dan tentunya mampu untuk mensejahterakan rakyat.




Pendidikan Seks Berbasis Gender






Rangkuman:
Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Mereka diharapkan menjadi agent of social change yang mampu merubah nasib bangsa. Di sisi lain, dewasa ini perilaku remaja semakin terdegradasi. Hal ini dibuktikan dengan maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan berbagai dampak negatif.
Sejauh ini konsep pendidikan seks yang ada di dalam sekolah formal adalah disampaikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran agama dan biologi. Materi disampaikan secara konservatif dan dalam ruang yang sama antara siswa putra dan putri. Akibatnya banyak siswa, termasuk siswa putri yang malu untuk mengekplore pemahaman mereka terkait kesehatan reproduksi. Kondisi tersebut menyebabkan subtansi dan esensi pendidikan seks justru tidak tersampaikan secara optimal.
Oleh sebab itu untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dirumuskan kembali model pendidikan seks yang relevan untuk remaja. Salah satu alternatif model pendidikan seks yang relevan adalah pendidikan seks berbasis gender. Model ini sebagai upaya memperhatikan bahwa sesungguhnya remaja putra dan putri memiliki kebutuhan berbeda, termasuk dalam cara  mendapatkan informasi terkait kesehatan reproduksi.

Remaja merupakan tumpuan masa depan. Mereka diharapkan dapat menjadi generasi penerus serta agent of social change yang mampu merubah nasib bangsa di masa depan. Demikian pula dengan Indonesia, negeri ini berharap besar pada remaja-remajanya untuk menyelesaikan serta melakukan perbaikan atas berbagai persoalan yang terjadi. Indonesia cukup beruntung karena menurut BPS (2010) jumlah remaja Indonesia mencapai 63 juta jiwa, dengan rincian sebanyak 37,55 juta adalah remaja 25,45 adalah remaja putri. Jumlah tersebut bila dioptimalkan dengan baik, maka mereka diproyeksikan akan menjadi aset negara menuju kemakmuran Indonesia di tahun 2020 mendatang.
Namun realitanya, dewasa ini remaja Indonesia menghadapi persoalan yang serius. Perilaku seks bebas di kalangan remaja semakin menggejolak. Berdasarkan survei Komnas Perlindungan Anak yang dilakukan di 33 provinsi pada tahun 2008 ditemukan bahwa remaja SMP dan SMA yang pernah berciuman, melakukan masturbasi, dan oral seks  mencapai 93,7%, remaja SMP yang tidak perawan sebanyak 62,7%, serta remaja yang mengaku pernah aborsi sebesar 21,2%. Perilaku seks bebas yang semakin mengkhawatirkan ini menyebabkan banyaknya kasus kehamilan di luar nikah, aborsi, bahkan serangan penyakit seksual seperti HIV dan AIDS  di kalangan remaja.
Perilaku seks bebas di kalangan remaja ini tidak lagi memandang batas-batas sosial dan wilayah. Melalui hal-hal kecil semacam budaya “pacaran” yang hanya sekedar bertemu hingga mengarah pada berhubungan seks sejak usia dini, menjadikan remaja baik dari keluarga dengan tingkat sosial menengah ke atas, maupun menengah ke bawah berpeluang melakukan tindakan seks bebas. Remaja diperkotaan dengan akses pendidikan dan informasi lebih baik, serta remaja pedesaan dengan kontrol sosial lebih ketat ternyata sama-sama menjadi pelaku maupun korban dari seks bebas.
Kondisi tersebut membutuhkan perhatian serius, sebab dampak destruktif mengancam masa depan remaja. Hal ini disebabkan karena dari sisi fisik, psikologis, maupaun sosial budaya, perilaku seks bebas selalu menimbulkan efek kurang baik. Oleh sebab itu remaja yang terjerumus ke dalam perilaku seks bebas, banyak yang merasa dirugikan karena tidak dapat menikmati hak-hak sebagaimana remaja semestinya.
Salah satu upaya yang harus dilaksanakan adalah dengan mengatasi faktor-faktor yang berkontribusi menjadi penyebab terjadinya perilaku seks bebas di kalangan remaja. Dari penelitian Chronika (2011) setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan remaja cenderung terjerumus ke dalam seks bebas. Dari empat faktor tersebut dapat di analisis sebagai berikut:

1.                                                     1. Nilai-nilai sosial budaya di masyarakat yang semakin longgar
Fenomena menarik di negeri ini adalah adanya pergeseran norma sosial dalam masyarakat dari tradisional-konservatif menjadi lebih permisif. Masyarakat cenderung apatis terhadap fenomena-fenomena sosial. Masyarakat semakin sibuk dengan kepentingan pribadinya sehingga cenderung mengabaikan nilai-nilai kepedulian sosial. Hal ini mendorong masyarakat, termasuk remaja, lebih permisif terhadap tindakan negatif seperti halnya kecenderungan pergaulan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat.
Rendahnya tingkat kepedulian masyarakat terhadapat pergaulan pria dan wanita ini juga mengakibatkan pembiasaan terhadap budaya pacaran. Padahal dahulu prosesi pacaran dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan bahkan sangat dilarang karena tidak sejalan dengan nilai dan norma khususnya dalam pandangan agama yang pada saat itu sifatnya sangat mengikat kuat terhadap masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa budaya pacaran merupakan hal biasa yang dilakukan remaja. Tidak heran bila kini remaja mulai berpacaran sejak berusia 12 tahun.
2.                                                     2. Perkembangan teknologi dan informasi
Kecenderungan perilaku seks bebas semakin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya tekhnologi yang semakin berkembang. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa.
Internet sebagai salah satu media yang untuk mengakses informasi menjadi salah satu media favorit untuk mengakses informasi terkait seks. Oleh sebab itu pengguna internet di Indonesia yang menggunakan keyword “seks” untuk melakukan searching sangat banyak
3. Pendidikan seks dalam keluarga yang belum maksimal
Faktor bimbingan dan pola asuh dari orang tua di rumah yang tidak peduli atau tidak terbuka untuk membicarakan masalah seks pada anaknya juga menjadi faktor penyebab maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja. Pada umumnya, orang tua baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks menjadi tidak terbuka kepada anak. Hal ini cenderung membuat jarak pada anak tentang masalah seks.
Selain itu, sekarang ini keluarga yang berada di kota cenderung lemah dalam upaya pengawasan terhadap putra-putri mereka. Sudah merupakan suatu pola kehidupan yang wajar dimana ayah dan ibu bekerja. Hal tersebut seringkali mengakibatkan kehidupan anak-anak mereka kurang mendapatkan pengawasan dan memiliki kebebasan yang terlalu besar. Bila pengawasan kurang, maka bisa dipastikan bahwa pendidikan seks pun akan sangat minim mereka dapatkan.
               4.      Tidak adanya kebijkan pemerintah dalam bidang pendidikan yang benar-benar efektif untuk mencegah perilaku seks bebas di kalangan remaja.
Sejauh ini Informasi seks dan reproduksi yang sehat hanya diperkenalkan dalam mata pelajaran Biologi SMP dan SMU, sedangkan budaya dan nilai seks dapat diajarkan oleh guru agama (Lisminingsih & Djuniawati, 2009). Pengintegrasian pendidikan seks pada mata pelajaran Biologi dan Agama ternyata tidak begitu efektif. Cara penyampaiannya pun cenderung konservatif dan disatukan antara siswa putra dan putri. Hal ini menyebabkan siswa kurang tertarik serta malu untuk meng-explore pemahaman tentang kesehatan reproduksi secara mendalam.

A.    Analisis Pilihan Alternatif
Faktor keluarga, lingkungan, dan teknologi informasi merupakan faktor yang cukup sulit untuk di atasi tanpa adanya komitmen dari semua pihak. Sedangkan faktor terakhir berupa pendidikan seks dalam sekolah formal merupakan satu faktor penyebab yang paling mudah di atasi karena hanya membutuhkan komitmen satu pihak, yaitu policy maker dalam bidang pendidikan. Melalui kebijakan pendidikan yang mereka buat, sekolah dapat mengimplementasikan konsep pendidikan seks yang paling relevan untuk siswa. Namun sebelum kebijakan tersebut dibuat, terlebih dahulu dirumuskan konsep-konsep pendidikan seks yang baik.
Kebijakan pendidikan yang memperhatikan gender sesungguhnya telah dijamin dalam undang-undang. Menurut Nurhaeni (2008), melalui UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat 1 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sedangkan kesehatan reproduksi sebagai bagian dari kesahatan secara umum juga merupakan hak laki-laki dan perempuan (Jurnal Perempuan, 2007). Oleh sebab itu, permasalahan-permasalahan yang selama ini terjadi dalam dunia pendidikan yang tidak memperhatikan gender (hak laki-laki dan perempuan) harus segera di atasi karena sesungguhnya telah dijamin dalam undang-undang.
Alternatif terbaik untuk mengatasi konsep pendidikan seks yang kurang relevan selama ini adalah dengan merumuskan konsep pendidikan seks yang berbasis gender. Konsep ini sebagai upaya untuk memperhatikan bahwa sesungguhnya remaja putra dan putri memiliki kebutuhan berbeda, termasuk dalam cara  mendapatkan informasi terkait kesehatan reproduksi. Oleh sebab itu, dengan memperhatikan gender maka proses transfer pengetahuan terkait kesehatan reproduksi ini dapat dilakukan secara terpisah antara remaja putra dan putri sebagai upaya memperhatikan laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan berbeda. Upaya ini disebut sebagai pendidikan seks berbasis gender.
Bentuk-bentuk pendidikan seks berbasis gender yang dapat dilakukan:
1.      Pendidikan Seks Terintegrasi ke dalam pelajaran Biologi dan agama Islam
Mata pelajaran SMA yang cenderung padat tidak memungkinkan menjadikan pendidikan seks sebagai mata pelajaran mandiri. Jadi pendidikan seks tetap diintegrasikan ke dalam mata pelajaran biologi dan agama. Hanya saja pada bab ini perlu dilakukan pemisahan kelas antara siswa putra dan putri agar masing-masing mereka dapat mengeksplore pemahaman akan kesehatan reproduksi lebih mendalam. Harapannya pesan dapat tersampaikan dengan baik.
Kelebihan: Kelebihan model ini adalah siswa tidak perlu menambah waktu belajar di sekolah karena materi disampaikan secara terintegrasi ke dalam mata pelajaran biologi dan pendidikan agama islam.
Kelemahan: Kelemahan model ini adalah penyampaian materi tentang kesehatan reproduksi yang menjadi substansi pendidikan seks tidak dapat disampaikan secara komprehensif. Karena sebagaimana pada mata pelajaran sekolah pada umumnya, materi di sampaikan per bab dengan tema yang berbeda. Otomatis kesehatan reproduksi hanya akan disampaikan pada satu atau dua bab yang khusus membahas itu, dimungkinkan waktu-waktu tersebut tidak mencukupi.
2.      Peer group
Masa remaja adalah masa-masa transisi. Pada masa ini komunikasi dengan remaja merupakan persoalan yang sulit. Pentingnya peer group adalah agar penyampai materi merupakan teman sebaya yang lebih paham dalam bentuk sharing. Siswa putra akan membentuk peer group sesama putra, siswa putri akan membentuk peer group dengan putri. Salah satu di antara teman mereka yang paling paham dapat menjadi mentornya. Oleh sebab itu untuk melaksanakan pendidikan yang demikian perlu adanya pelatihan sebelumnya terhadap beberapa siswa yang akan menjadi coach dalam peer group.
Kelebihan:  Materi akan lebih mudah diterima karena disampaikan oleh sesama teman sebaya. Proses pembelajaran yang berlangsung akan lebih menarik karena dikondisikan sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai seorang remaja.
  Kelemahan: Karena anggota peer group adalah teman sebaya maka dimungkinkan  kapasitas, kapabilitas, bahkan penguasaan mereka tentang materi pendidikan belum optimal. Sehingga subtansi dan tujuan utama dari pendidikan seks bisa saja tidak terwujud.
Model-model di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemerintah dapat memilih model yang paling memungkinkan untuk diterapkan di sekolah, atau dapat juga sekolah sendiri yang memilih model. Namun demikian pendidikan seks yang memperhatikan gender perlu dilakukan. Perempuan sebagai penerima akibat terburuk dari perilaku seks bebas harus mendapat informasi sebaik-baiknya. Dengan menerapkan pendidikan seks yang berbasis gender ini diharapkan perempuan atau remaja putri memiliki pemahaman lebih, sehingga tidak menjadi pelaku maupun korban dari seks bebas.
Selain itu, menerapkan kebijakan pendidikan seks yang relevan merupakan suatu urgensi untuk masa depan bangsa. Karena kesehatan reproduksi dan segala aspeknya merupakan dasar dan awal dari proses pengembangan sumber daya manusia yang sangat menentukan bagaimana kualitas dari sumber daya manusia itu sendiri di masa mendatang.

Daftar Pustaka:
BPS. 2010. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Provinsi, Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan, 2009-2011 di akses dari bps.go.id  pada tanggal 18 Februari 2013.
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni. 2008. Reformasi Kebijakan Pendidikan. Surakarta: LPP dan UNS Press.
Kartono Mohamad. 2007. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Lisminingsih, Ratna Djuniawati, 2006. Peranan Guru dalam Perkembangan Sikap dan Perilaku Seksual Remaja. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Budi Utomo. Pusat Pengabdian kepada Masyarakat.
Roy Chronika. 2011. Makna Seks Bebas Bagi Pelajar SMP di Kota Padang. di akses dari http://repository.unand.ac.id  pada tanggal 15 Februari 2013.

Template by:

Free Blog Templates