Minggu, 29 Desember 2013

Harapan itu masih ada

HARAPAN ITU MASIH ADA
Tema: Keyakinan untuk sukses
Oleh: Arina Rohmatul H.
Ketika berada di bangku kuliah, orientasi pemikiranku untuk berprestasi sudah berubah. Ketika dulu masih menjadi seorang siswi, aku lebih sering mengikuti perlombaan yang mengasah kemampuan public speaking ku. Tapi sekarang semuanya berbeda. Aku sudah mencari berbagai informasi tentang lomba pidato, membaca puisi, ataupun yang lain, namun hasilnya hampir tidak ada.
Setiap kali mencari, selalu saja kutemui perlombaan yang berhubungan dengan menulis. Entah itu artikel, cerpen, karya tulis ilmiah, ataupun puisi. Jujur saja, aku merasa sedikit kaget dan resah. Karena dulu saat masih sekolah, aku tidak terlalu terbiasa mengikuti lomba menulis. Kalaupun ikut, pasti itu jenisnya adalah lomba karya tulis. Dan itu hanya sekitar dua kali dalam satu tahun.
Dengan begitu, akhirnya aku berubah tujuan. Bagaimanapun caranya aku harus menulis. Menulis dan menulis. Karena kalau tidak seperti itu, kapan lagi akan bisa berprestasi, dan membanggakan kedua orang tua. Meskipun tidaklah mudah, tapi aku selalu menanamkan suatu pemikiran dan juga keyakinan bahwa aku pasti bisa. Berusaha mencoba masih lebih baik daripada hanya berdiam diri, tidak melakukan sesuatu, dan hanya berharap kesuksesan datang begitu saja.
Aku mulai menulis segala macam tulisan, baik artikel, karya tulis ilmiah, cerpen, ataupun puisi, lalu kukirim ke berbagai lomba. Aku sadar diri bahwa sebagai pemula dalam menulis (sebut saja seperti itu), banyak kekurangan dalam tulisanku. Gaya bahasa, ejaan yang belum sempurna, dan masih banyak lagi. Alhasil, sudah tak terhitung berapa kali aku mencoba mengirim tulisanku ke berbagai ajang lomba menulis, namun tak ada satu pun yang berhasil masuk. Bahkan masuk nominasi pun tidak. Tidak tahu apakah itu karena kurang beruntung, atau memang murni karena tulisanku belum memenuhi standar untuk bisa disebut sebagai tulisan yang baik.
Berdasarkan hal itu, setiap kali aku menemui perlombaan yang ada hubungannya dengan menulis, aku sudah merasa minder dan takut duluan. Seakan-akan sudah tertanam dalam pikiranku bahwa tulisanku tidak akan pernah menang. Masuk finalis saja seperti mustahil rasanya. Selalu seperti itu. Padahal aku sudah semaksimal mungkin mengerahkan segala usahaku untuk mencapai apa yang kuinginkan. Bahkan setiap selesai ibadah, selalu tak lupa aku memohon supaya ada kabar baik yang menghampiri tentang tulisan-tulisan yang
kubuat. Kupanjatkan do’a supaya ada satu kesempatan saja untukku merasa bahagia karena tulisanku berhasil menjadi juara. Satu saja. Setidaknya itu akan menjadikanku bersemangat untuk tetap menulis. Karena aku sendiri tidak ingin bila harus berhenti menulis karena tulisan yang tidak pernah menang.
Ketika berkali-kali mengikuti lomba menulis, dan berkali-kali pula ditolak, pada suatu kesempatan Tuhan menjawab do’aku. Saat itu, temanku mengatakan bahwa ada lomba essay yang diadakan oleh Open Government Indonesia. Semacam mengungkapkan ide atau gagasan untuk Indonesia yang lebih baik. Melihat pihak yang mengadakan lomba itu, aku merasa tertarik untuk mengikutinya. Meskipun seperti biasa, perasaan minder dan takut sudah menyergap duluan, tapi aku tetap memutuskan untuk ikut. Akhirnya aku membuka internet dan browsing seputar lomba itu. Dalam persyaratan yang telah ditetapkan, peserta boleh berkelompok, dan aku mengajak temanku sekelas untuk mencoba peruntungan di lomba itu.
Kita berdua berkonsultasi dengan beberapa dosen untuk menentukan judul apa yang akan kita angkat dalam essay. Setelah berkonsultasi, akhirnya kita memutuskan untuk mengangkat sebuah judul tentang persembahan anak-anak difabel baik berupa skill ataupun hasil karya melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI). Sebenarnya kita ingin mengerjakan essay itu jauh-jauh hari sebelum batas terakhir pengumpulan. Namun, karena tugas yang menumpuk, mengingat akhir semester selalu seperti itu, akhirnya mau tidak mau, kita baru bisa mengerjakan sehari sebelum tanggal pengumpulan dan itu malam hari sekitar pukul 21.00 WIB. Benar-benar mepet.
Ketika sudah selesai, aku dan temanku memasrahkan semua hasil tulisan kita. Selain hasilnya yang kurang maksimal mengingat waktu pengerjaan begitu dekat dengan batas akhir pengumpulan, sebenarnya kita berdua sering mengirim tulisan untuk diikutkan dalam lomba menulis, hanya saja belum ada yang berhasil menjadi juara. Sehingga kita sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu.
Setelah lama menanti pengumuman, akhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Pada waktu itu, aku sebenarnya tidak ingat kapan akan diumumkan peserta yang lolos ke tahap selanjutnya. Dan akhirnya ketika bangun tidur sekitar pukul 02.45 WIB, di handphone ada message dari temanku bahwa tulisan kita berdua masuk ke dalam 50 besar terbaik dari 3000 naskah yang ada. Sontak aku terkaget melihat pesan itu. Mata yang semula masih terkantuk-kantuk menjadi terang benderang ketika membaca berita menggembirakan itu.
Aku dan temanku merasa senang, bahagia, dan tidak tahu apa yang harus diungkapkan. Karena ini seperti angin segar untuk kita berdua setelah sekian lama menanti kapan saat seperti ini akan tiba. Kita bersyukur karena bisa masuk menjadi 50 besar terbaik,
meskipun penjuriannya belum berhenti sampai di situ saja. Sebenarnya setelah tahap 50 besar, akan dilakukan penilaian lagi untuk menentukan 10 besar yang akan menjadi finalis di Jakarta, sekaligus penentuan siapa yang akan berlibur ke Raja Ampat untuk juara pertama.
Pada tahap penentuan 10 finalis, kita diberi kesempatan untuk merevisi tulisan yang sebelumnya. Dan setelah proses revisi selesai, kita menunggu lagi untuk pengumuman 10 finalisnya. Pada tahap ini, 50 naskah yang masuk dinilai oleh lima juri, dan hasil dari masing-masing juri selalu di-update melalui web resmi Open Government Indonesia. Pada penjurian awal, tulisan kita berhasil menempati peringkat pertama. Namun sayangnya, semakin banyak juri yang menilai, peringkat kita semakin turun. Semula berada paling atas, kemudian turun sedikit demi sedikit, dan di akhir penjurian, kita menempati posisi ke-17. Setelah dilihat, sebenarnya selisih angka yang kita dapat tidak terlalu jauh dengan naskah yang menjadi 10 besar. Mungkin kita masih belum beruntung.
Tapi aku dan temanku sudah sangat bersyukur dengan apa yang baru kita dapat. Meskipun masih berhenti di peringkat 17 dari 50 besar, dan masuk menjadi 50 besar dari 3000 naskah yang masuk, kita merasa bangga. Karena bagi kami itu sudah prestasi tersendiri yang tak ternilai harganya.
Aku merasa bahwa ini adalah awal dari kesuksesanku selanjutnya. Walau memang juara satu belum berhasil didapatkan, tapi ini berasa seperti pijakan awal yang akan menuntunku menuju sebuah kesuksesan besar nantinya. Temanku pernah berkata bahwa seorang penulis hebat, tulisannya pernah ditolak hampir 90 kali untuk bisa dimuat. Sedangkan aku belumlah seberapa.
Sejak saat itu, semangat yang semula terasa redup, sekarang mulai bersinar lagi. Semakin hari keyakinanku semakin kuat. Tuhan tidaklah tidur. Dia selalu melihat bagaimana usaha hamba-Nya untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Aku percaya bila suatu saat nanti, jerih payahku selama ini akan terbalas. Aku hanya perlu bersabar untuk menunggu kapan saat itu tiba. Aku selalu memikirkan bahwa Tuhan sedang mencari dan memilihkan waktu yang tepat untukku.
Tuhan, jadikan peluhku selama ini adalah kebaikan. Jadikan setiap tetesan air mata yang terjatuh adalah mutiara. Berikan yang terbaik atas apa yang aku lakukan. Berikan pula kekuatan untuk aku melangkah dan tunjukkan arah kemana aku harus berjalan. Jadikan diriku menjadi orang yang tetap mengingat-Mu, percaya akan kebesaran-Mu, dan penuhilah aku dengan keikhlasan atas takdir-Mu.

Disiplin dan Tanggung Jawab



DAN AKHIRNYA DARI FIESTA DENGAN CINTA KUBANGUN JATI DIRI YANG SESUNGGUHNYA
Tema: Kedisiplinan, Tanggung Jawab dan Profesionalitas
Oleh: Arina Rohmatul Hidayah

Aku adalah seorang penyiar di radio Fiesta FM yang merupakan radio komunitas di kampus dengan stasiun 107.7 FM. Dari dulu aku memang sangat berminat menjadi seorang penyiar karena bisa mengasah bakat yang ingin kukembangkan. Dan melalui Radio Fiesta itu, mimpiku menjadi seorang penyiar mampu terwujud. Banyak sekali pelajaran yang bisa kudapatkan mulai dari kedisiplinan, tanggung jawab dan juga profesionalitas. Meskipun hanya sebuah radio komunitas, namun dengan berada di situ seakan-akan membuatku masuk dalam dunia media yang sesungguhnya.
Seperti yang sudah kujelaskan di atas, dengan menjadi seorang penyiar aku bisa belajar tentang kedisiplinan, tanggung jawab serta profesionalitas. Berbicara tentang kedisiplinan, apabila seorang penyiar tidak dididik untuk disiplin, maka siaran pun pastinya akan berantakan. Apa ada di sebuah radio yang penyiarnya terlambat karena ada urusan tertentu? Kalaupun ada, pasti setelah itu penyiar yang bersangkutan akan diskors, dimarahi habis-habisan, dipotong gajinya, ataupun diberi sanksi-sanksi yang lain. Karena memang, mungkin kalau dalam suatu rapat atau pertemuan tertentu, kita bisa saja beralasan untuk datang terlambat. Tapi jangan harap kalau itu juga akan terjadi dalam dunia radio. Karena pendengar tidak mau tahu alasan dari penyiar. Mereka hanya ingin mendengar siaran dari penyiar favorit mereka, memberitakan hal-hal menarik yang membuat mereka terhibur, dan lain sebagainya. Mau ban motor kita bocor, kehujanan, sakit, ataupun yang lain, tidak menjadi alasan untuk terlambat. Sehingga, sangat perlu untuk di sebuah radio, penyiar harus sudah datang setidaknya 5 menit sebelum on air. Itu batas maksimal. Dan di sinilah letak kenapa aku bisa belajar banyak tentang arti disiplin. Hargailah waktu, karena waktu itu akan membunuhmu bila tidak digunakan sebaik mungkin.
Untuk masalah tanggung jawab itu berhubungan dengan jadwal siar yang telah dibuat. Radio Fiesta FM sendiri mulai siaran Hari Senin sampai dengan Jum’at pukul 07.00 sampai 21.00 WIB. Jadi sebelum Hari Senin, misalnya Minggu atau Sabtu, kita sudah ditanya tentang jadwal seminggu kedepan oleh Kepala Divisi Penyiaran. Dalam mengirim jadwal, posisinya kita tidak tahu ada kegiatan mendadak apa yang akan terjadi pada rentang waktu seminggu itu. Sehingga misalnya saja ada kuliah mendadak. Maka kita harus tanggung jawab untuk bagaimana caranya mencari ganti jam siar. Tidak bisa kita meninggalkan siaran begitu saja. Kalau kuliah mendadak masih bisa ditoleransi, karena tujuan awal kita adalah kuliah, sedangkan apabila ada kegiatan di organisasi kampus yang lain, dan itu sifatnya mendadak, maka kita dituntut untuk tanggung jawab supaya bagimana caranya antara siaran dan juga kegiatan itu tidak bentrok. Karena sebenarnya tujuan awal dibuatnya jadwal sehari atau dua hari sebelum mulai siaran pada Hari Senin itu adalah supaya para penyiar bisa bertanggung jawab atas jadwal yang telah mereka berikan. Jadi di situ aku bisa belajar bahwa kita harus mendahulukan dan bertanggung jawab atas apa yang telah kita janjikan sebelumnya. Jangan menjadi orang yang lari dari tanggung jawab, karena itu akan membuat kita rugi dan tidak bisa dipercaya oleh orang lain.
Sedangkan untuk profesionalitas, aku juga belajar banyak ketika menjadi penyiar di Radio Fiesta. Pernah suatu saat ketika semester dua dan itu sedang banyak-banyaknya tugas yang harus dikumpulkan. Aku sibuk mengerjakan tugas dan di sisi lain aku masih harus siaran. Aku tetap datang siaran, karena itu sudah menjadi tugasku, tapi karena beban tugas yang begitu banyak membuatku tidak bisa fokus ketika siaran. Aku siaran tapi pikiranku justru memikirkan tugas. Akhirnya ketika saat evaluasi tiba, habislah sudah aku di situ. Kepala Divisi Siaran dan juga Program Director Fiesta FM memarahiku habis-habisan. Mereka mengatakan bahwa siaranku jelek karena tidak bisa profesional. Aku selalu mengeluh dengan tugas padahal tugas mereka jauh lebih banyak dan rumit. Sehingga banyak tugas bukanlah alasan yang harus membuat aku tidak fokus untuk siaran. Ketika aku sudah masuk kabin siar, tinggalkan semua masalah yang ada di luar, dan fokus pada apa yang kamu hadapi saat itu. Boleh bila aku memikirkan tugas, tapi setelah siaran. Karena kembali lagi, pendengar tidak ingin mendengar alasan dari penyiar. Meskipun penyiarnya banyak tugas, pendengar tidak mau tahu.
Sehingga dari pengalaman itu aku bisa belajar bahwa ketika kita ada dalam sebuah organisasi, fokus pada apa yang kita hadapi saat itu. Meskipun sedang banyak masalah di luar, kita tetap dituntut untuk profesional terhadap apa yang menjadi tanggung jawab kita. Itu sudah menjadi konsekuensi dari pilihan yang kita buat. Ketika kita memilih untuk menjalani suatu kegiatan atau organisasi tertentu, maka lakukanlah dengan maksimal.
Pesan terakhirku dalam tulisan ini adalah lakukanlah setiap kegiatan kita dengan penuh kedisiplinan, tanggung jawab dan profesional. Berikan yang terbaik untuk setiap pilihan yang telah kita buat. Jangan lari ataupun takut terhadap apa yang ada di hadapan kita. Jalani, cintai, dan yakini bahwa itu adalah jalan untuk kita menjadi orang yang luar biasa nantinya.   

PADI TVRI



PADI TVRI (PERSEMBAHAN ANAK-ANAK DIFABEL INDONESIA MELALUI TELEVISI REPUBLIK INDONESIA)
Dedikasi untuk Anak-anak Difabel di Seluruh Indonesia

Identifikasi dan Analisa Permasalahan:
Kelompok difabel atau mereka yang memiliki disabilitas fisik tertentu merupakan kelompok yang saat ini kurang mendapatkan perhatian di Indonesia. Meskipun beberapa kali disoroti melalui program-program yang digagas oleh pemerintah maupun awak media, keberadaan anak-anak difabel dirasa masih kurang diindahkan oleh masyarakat luas. Labelling atau pemberian cap buruk dari masyarakat, serta kurangnya uluran tangan dari pemerintah dalam memperlakukan kelompok tersebut telah menyebabkan tersisihnya kelompok ini dari pergaulan masyarakat.
Dewasa ini, masyarakat sering kali memandang kelompok difabel dengan sebelah mata. Bagi mereka, ketidakmampuan kelompok tersebut menjadikan mereka lebih rendah dari masyarakat yang tidak memiliki disabilitas dalam kondisi fisik. Bahkan Ciptono, dkk, menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus kerap dianggap “aib”, lantas disembunyikan. Mereka seharusnya diberi kesempatan layaknya anak normal, yang kehadirannya dalam keluarga disambut dengan riang gembira. Anak berkebutuhan khusus tidak tahu dan tidak berharap lahir dalam keadaan tidak sempurna. Entah lahir sebagai tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, tunaganda, maupun autis, anak-anak itu tidak dapat memilih. Seandainya diperbolehkan setiap anak akan memilih punya kecerdasan seperti Habibie, kecantikan seperti Tamara Blezinsky, ketampanan seperti Anjasmara, akhlak seperti Ustadz Mansyur, dan badan kuat seperti Ade Rai. Sayang anak-anak yang lahir tidak dapat memilih, mereka hanya bisa menerima dan tidak dapat mengindar[1].
Cara pandang masyarakat luas terhadap kelompok difabel ini pun tak urung menyebabkan kelompok difabel merasa tidak dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar mereka. Utamanya bagi anak-anak difabel, bila sejak awal telah mendapatkan label buruk dari masyarakat di sekitarnya, tentu mereka akan kesulitan dalam mengekspresikan minat, bakat dan kreativitas yang terpendam dalam diri mereka. Di samping itu, pemerintah Indonesia pun belum memberikan kepedulian yang cukup bagi kelompok yang seolah terpinggirkan ini.
Perlu diketahui, jumlah penderita difabel di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kementerian Kesehatan Nasional (Kemenkes) menyebutkan bahwa penderita difabel pada tahun 2011 telah mencapai 6,7 juta jiwa. Sedangkan menurut data yang dilansir dari World Health Organization (WHO), jumlah penderita difabel di Indonesia telah melebihi angka 10 juta jiwa.[2] Jumlah ini tentu saja menuntut pemerintah dan masyarakat untuk lebih memberikan perhatian kepada kelompok difabel.
Berangkat dari permasalahan ini, kami berpikir bahwa pemerintah dan awak media perlu bekerja sama dalam mengubah stereotype yang ditekankan oleh masyarakat luas terhadap ketidakmampuan kaum difabel. Kerja sama yang dapat dilakukan oleh kedua pihak ini, misalnya, mengadakan dan menyiarkan program televisi yang menampilkan minat, bakat dan kreasi anak-anak difabel. Program-program yang penulis maksud merupakan ajang pentas anak-anak difabel yang harus memperhatikan satu aspek penting berkaitan dengan tidak adanya unsur eksploitasi anak. Program-program semacam ini akan mengubah masyarakat luas untuk lebih menghargai anak-anak difabel di sekitar mereka. Adanya campur tangan pemerintah, tak pelak turut meningkatkan kepercayaan diri kelompok difabel bahwa mereka bukanlah kelompok yang terpinggirkan.

Solusi Inovasi:
Solusi yang kami tawarkan atas permasalahan kurangnya wadah bagi anak-anak difabel untuk menyalurkan bakat, minat, dan kreasi mereka adalah dengan memanfaatkan media televisi publik milik pemerintah, yakni TVRI (Televisi Republik Indonesia). Kami mengusulkan diadakannya sebuah program tayangan yang rutin, menyeluruh, dan secara khusus menampilkan minat, bakat dan kreasi anak-anak difabel di masing-masing provinsi yang kemudian diberi nama “Persembahan Anak Bangsa”. Oleh karena di masing-masing provinsi sudah ada TVRI daerah terkecuali Sulawesi Barat dan 2 provinsi lain yang tidak ada cabangnya, program ini akan lebih menyeluruh dalam menjaring anak-anak difabel yang sebenarnya mememiliki bakat atau keahlian dalam membuat sesuatu namun belum diekspos oleh media.
Sebelumnya, memang sudah ada beberapa program televisi yang menyoroti anak difabel  seperti program “Kick Andy Show” yang pernah mengundang anak difabel, program acara Hitam Putih” yang pernah mengundang wanita penyandang cacat, dan beberapa program televisi lainnya. Namun, kami merasa bahwa program-program tersebut kurang berjalan secara efektif, rutin, dan menyeluruh.  Acara talk show Kick Andy, misalnya, pernah menghadirkan anak difabel sebagai bintang tamu. Acara tersebut mengundang anak difabel hanya dalam beberapa kesempatan saja, tidak dilakukan secara rutin. Anak-anak difabel itu pun hanya berasal dari sebagian daerah saja, tidak menyeluruh.

Detail Rencana Program “Persembahan Anak Bangsa”:
Secara detail, bentuk program yang kami tawarkan sebagai solusi adalah sebagai berikut:
1.      Program ini hampir sama dengan program “Indonesia Mencari Bakat” yang disiarkan oleh TransTV. Hanya saja, yang membedakan kedua acara di sini adalah dari peserta dan juga sistem penampilannya. Program ini nantinya akan diikuti oleh anak-anak difabel di masing-masing provinsi dan tidak menggunakan sistem juara. Hal ini karena bila sistem juara itu diterapkan, maka kami khawatir psikologis peserta akan terganggu. Program ini dibuat bukan untuk melihat bakat atau kreasi mana yang lebih bagus, melainkan sebagai wadah bagi anak-anak difabel untuk menyalurkan bakat, minat, dan kreasi mereka tanpa harus diseleksi atau dipilih siapa yang terbaik.
2.      Masalah teknis penayangan, kami akan mengimbau pihak TVRI pusat untuk menjadikan ide ini sebagai program tayangan yang harus ada baik di TVRI pusat sendiri maupun di TVRI provinsi. Dengan begitu, cakupan wilayah untuk merekrut anak-anak difabel dalam menyalurkan bakat, minat dan juga kreasi mereka akan lebih luas.
3.      Waktu penayangan program ini adalah rutin satu minggu sekali. Soal bentuk penayangannya seperti apa, apakah ingin dibuat seperti “Indonesia Mencari Bakat”, ataukah dalam bentuk video, talk show dan lain-lain, kami serahkan kepada pihak tim kreatif dari masing-masing TVRI provinsi. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan bahwa masing-masing TVRI provinsi akan memiliki bentuk penayangan yang berbeda. Serta tak lupa, yang perlu kami tekankan di sini adalah program ini tidak hanya menampilkan bakat atau skill dari anak-anak difabel yang ada di setiap provinsi, tetapi juga menayangkan kreasi mereka dalam menciptakan karya, seperti keahlian membuat lukisan, memasak, menulis, menjahit dan lain-lain.
4.      Program ini bisa ditayangkan dalam beberapa minggu untuk anak-anak difabel yang ada di daerah X, provinsi Y, kemudian beberapa minggu ke depan adalah waktunya untuk daerah Z, provinsi Y, begitu juga seterusnya. Sehingga bisa menyeluruh dan rutin dilaksanakan.

Alasan memilih program “Persembahan Anak Bangsa”:
            Solusi yang kami tawarkan ini pada dasarnya memiliki beberapa alasan. Pertama, media televisi merupakan salah satu media komunikasi massa yang bisa dikonsumsi oleh khalayak dalam jumlah massif. Ditambah lagi, televisi merupakan media komunikasi massa yang berbentuk audio visual sehingga semakin menarik penonton untuk melihatnya. Dengan memanfaatkan media televisi khususnya TVRI, maka kami mengharapkan minat, bakat, atau kreasi dari anak-anak difabel bisa dikonsumsi secara massif oleh khalayak dan mampu mengubah cara pikir atau cara pandang beberapa orang yang masih menganggap remeh keberadaan dari anak-anak difabel itu.
Kedua, sebagai media publik milik pemerintah, TVRI merupakan media yang tidak berbasis profit. Karena tujuan dari program tampilan bakat, minat, serta kreasi dari anak-anak difabel ini bukanlah untuk mengeksploitasi mereka, melainkan sebagai wadah edukasi dan juga informasi kepada anak-anak difabel itu sendiri maupun bagi masyarakat, maka program tersebut dirasa cocok untuk ditayangkan melalui media publik yang tidak profit oriented.
Ketiga, anak-anak difabel di Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya masih sangatlah banyak. Ditambah dengan media yang bisa dikatakan jarang untuk mengekspos masalah itu dan belum secara menyeluruh serta rutin dalam menampilkan bakat atau keahlian yang dimiliki oleh anak-anak difabel.

Analisa Dampak bagi Masyarakat dan Pemerintah:
Kehadiran program yang kami tawarkan sebagai solusi terpinggirkannya kelompok difabel akan menjadi tayangan yang berbeda bagi masyarakat Indonesia. Kami menyadari, bahwa tayangan-tayangan di televisi Indonesia sekarang ini lebih didominasi oleh tayangan hiburan yang klise dan tidak menanamkan nilai serta moral bagi pemirsanya. Sinetron, film televisi, program hiburan yang saling mencelakai dan mencemooh antarpresenternya, reality show yang tidak riil, dan tayangan hiburan lainnya telah membuat masyarakat jenuh dan enggan untuk menggunakan media.
Berbeda dari tayangan hiburan yang telah disebutkan sebelumnya, program yang kami tawarkan akan membuka mata masyarakat atas apa yang sebelumnya tidak mereka pedulikan. Tayangan yang menampilkan bakat, minat dan kreasi anak-anak difabel tanpa unsur eksploitasi akan membuktikan kepada masyarakat luas bahwa eksistensi anak-anak difabel tidak sesuai dengan pandangan negatif mereka. Masyarakat luas akan berpikir ulang tentang label yang mereka berikan kepada anak-anak difabel. Stereotype yang merendahkan anak-anak difabel akan tergantikan oleh pandangan bahwa anak-anak difabel pun memiliki kemampuan yang tidak dapat diremehkan terlepas dari keterbatasan yang mereka miliki.
Terwujudnya kerja sama antara pemerintah dan awak media melalui TVRI, kami harap dapat mencapai tujuan yang kami canangkan sebelumnya. TVRI, sebagai stasiun televisi milik pemerintah yang berada di setiap daerah kota dan provinsi, dapat merangkul masyarakat daerah secara lebih erat. Keberadaan stasiun televisi di setiap daerah ini nantinya akan mempermudah penggagas program untuk mendekati anak-anak difabel di seluruh daerah Indonesia.    

Analisis Keberhasilan Program “Persembahan Anak Bangsa”:
Kami memperkirakan keberhasilan dari program ini adalah sebagai berikut:
1.      Dalam hal penayangan, program ini akan mendapatkan respon positif dari masyarakat karena mengedepankan bakat dan juga kreasi dari anak-anak difabel yang sekarang ini tidak banyak diekspos oleh media lain. Bisa dikatakan program ini berbeda dari program-program yang ada di media lain.
2.      Meskipun menurut kami sekarang ini TVRI kalah saing dengan televisi-televisi swasta, namun setidaknya dengan adanya program tampilan bakat dan juga kreasi dari anak-anak difabel secara rutin dan menyeluruh di setiap provinsi, akan memberikan efek psikologis yang positif bagi anak-anak difabel itu sendiri. Anak difabel yang semula merasa minder atau takut untuk lebih mengembangkan bakat atau kreasi mereka, akan lebih membuka diri dan bersemangat untuk maju setelah menonton tayangan tersebut.
3.      Dengan adanya cabang dari TVRI pusat di setiap provinsi, maka untuk menampilkan bakat dan juga kreasi dari anak-anak difabel bisa dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya pada daerah tertentu saja. Apalagi program ini ditayangkan secara rutin. Sehingga dengan begitu, maka beberapa minggu penayangan bisa digunakan untuk tampilan dari anak-anak difabel yang ada di daerah X, provinsi Y, kemudian beberapa minggu selanjutnya adalah tampilan dari anak-anak di daerah Z, provinsi Y, dan seterusnya.
4.      Anak-anak difabel yang belum mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya, melalui program tampilan bakat dan juga kreasi tersebut, mereka akan memperoleh pendidikan secara informal. Dan itu penting. Karena kesuksesan seseorang tidaklah semata-mata disebabkan karena kemampuan akademisnya, melainkan juga oleh bakat atau keahlian yang dmilikinya.


[1] Ciptono, dkk, Guru Luar Biasa, cetakan pertama, Juli 2009, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta, hlm. 141.

[2] http://jpnn.com/news.php?id=123841# diakses pada 5 Desember 2013 pukul 22.00

Minggu, 01 Desember 2013


Solo Spirit of Java
Oleh: Arina Rohmatul H.

Memasuki tahun ketiga di Kota Bengawan, sejujurnya baru satu event yang berhasil kuikuti. Event itu adalah SIPA (Solo International Parade Art). Selain SIPA, sebenarnya aku sangat tertarik untuk mengikuti event-event budaya yang lain seperti SBC (Solo Batik Carnival), ataupun berbagai kegiatan keraton ketika hari-hari besar islam.  Namun sayangnya, ketika event itu dilaksanakan, ada suatu kepentingan yang membuatku tidak bisa untuk mengikutinya.
Tapi tak apalah. Dengan melihat SIPA, setidaknya sudah membuatku bangga dengan rumah keduaku ini. Dari event tersebut aku bisa menyaksikan bagaimana budaya-budaya yang ada di negeri ini tidak kalah dengan budaya negara lain, bahkan lebih mengagumkan. Budaya-budaya itu disatukan dalam satu panggung di sebuah mahakarya budaya yang tak bisa untuk dilupakan.
Waktu itu, aku menonton bersama dengan teman-temanku. Meskipun berdesak-desakan, rasa penasaranku tidak bisa dibendung. Akhirnya, setelah bisa masuk ke dalam, aku bisa melihat bagaimana event SIPA itu digelar. Bertempat di Benteng Vastenburg, semakin menguatkan suasana tradisional yang anggun. Di sana aku bisa menikmati tarian-tarian dari Jepang, Cina, Korea, dan beberapa negara lain. Selain mengagumi tempat dan konsep pertunjukannya yang megah, aku juga menaruh kekaguman pada budaya negeri kita sendiri. Tarian-tarian dari negara kita tidaklah kalah dengan tarian negara lain. Bahkan menurutku lebih bagus. Ya, itu adalah pengakuan yang jujur dan bukan dibuat-buat.
Aku ingin bisa megikuti terus event budaya yang diadakan di kota ini. Aku ingin memamerkan kegiatan-kegiatan itu kepada teman, sahabat, orang tua, dan siapapun yang tak mengenal Kota Solo lebih dalam. Karena entah kenapa, ketika pulang ke Kediri dan ditanya tentang bagaimana tinggal di Kota Solo, aku merasa harus menceritakan kepada mereka tentang keunggulan, kemegahan, dan keagungan kota ini. Ada semacam perasaan tidak terima apabila ada orang yang meremehkan apa yang ada di sini. Tidak terima apabila kota ini dijuluki sebagai kota yang penuh dengan teroris, ataupun julukan-julukan lain. Dengan perasaan semacam itu, aku tidak bisa mengelak bahwa lama kelamaan Kota Bengawan ini seperti menjadi rumah kedua bagiku.
Harapanku untuk kegiatan-kegiatan budaya yang ada di sini bisa dipertahankan, dilestarikan, dan kalau perlu ditambah variasinya. Mengingat Kota Solo sendiri diusulkan menjadi bagian dari tujuh kota ajaib di dunia versi New 7 Wonders, tentunya kita tidak ingin apabila budaya yang dengan susah payah dibangun harus lenyap begitu saja. Sebagai pendatang, sekali lagi aku ikut bangga dan bahagia bisa menjadi salah satu keluarga besar dari warga Kota Bengawan. Biarlah apapun kata orang di luar sana tentang kota ini, yang penting mari kita tunjukkan bahwa Kota Solo adalah kota budaya yang dibalik kesederhanaanya ternyata menyimpan keagungan dan kemegahan. Solo Spirit of Java




Hatiku terpaut di Kota Bengawan
Oleh: Arina Rohmatul H.


Aku orang Kediri bukanlah orang Solo. Tapi aku menetap sementara di Kota Bengawan ini untuk berkuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan sekarang sudah masuk tahun ketiga. Banyak cerita dan juga kesan yang kudapat.
Berada di Kota Bengawan membuatku tersadar bahwa aku telah menemukan rumahku yang kedua. Di sini tidak jauh beda dengan Kediri. Aku bertemu dengan orang-orang yang santun, Bahasa Jawa yang seakan-akan menjadi bahasa ibu bagi mereka, dan budaya yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap elemen masyarakatnya. Ada beberapa orang yang beranggapan bahwa Solo Kota Teroris. Ya, sejak ditangkapnya Noordin M. Top di daerah Mojosongo, dan beberapa teroris yang lain, membuat kota ini seakan-akan menjadi tidak begitu aman menurut sebagian orang yang bukan penduduk asli. Tapi apa yang menjadi anggapan mereka salah. Aku nyaman berada di sini. Menjadi salah satu bagian dari masyarakat Kota Solo menjadikan aku lebih memiliki banyak kesempatan untuk menikmati aneka kegiatan budaya dan segala macam hasil budayanya.
Berkeliling melewati Jalan Slamet Riyadi saat malam hari, kemudian menikmati sajian makanan yang ada di angkringan-angkringan pinggir jalan, mulai Shi-Jeck, Hek, ataupun warung-warung kecil lainnya, pergi ke pusat batik Laweyan, Pasar Grosir Solo, Pasar Klewer, menikmati suasana malam di emperan Pasar Grosir Solo dengan diiringi tembang-tembang Jawa, dan masih begitu banyak kegiatan lain yang tak bisa kuceritakan satu per satu dalam tulisan ini. Semua kegiatan tersebut tak akan bisa dilupakan saat nanti aku harus benar-benar meninggalkan kota ini.
Suasana malam di Kota solo adalah saat dimana aku ingin mengenangnya sampai kapanpun. Karena entah kenapa, ketika malam tiba semuanya terasa berbeda. Aku bisa merasakan, suasana malam di kota ini adalah saat-saat di mana kesederhanaan menjelma menjadi sebuah kemegahan. Bagaimana tidak, budaya yang tercipta di sini, meskipun terlihat sederhana dan terkesan masih tradisional, membuat kota ini semakin menunjukkan keagungan dan kemegahannya. Semua orang terasa berkaitan satu sama lain dan menjadi suatu keluarga besar sebagai hasil kebudayaan yang tak bisa untuk dihilangkan.
Namun di balik keagungan dan kemegahan yang kuceritakan sebelumnya, ada sesuatu hal yang ingin kusampaikan di sini. Meskipun aku merasa nyaman dan terkesan dengan apa yang ada di kota ini, bukan berarti aku tidak memiliki sesuatu yang membuatku merasa tidak nyaman di sini. Masalah kebersihan kota yang menurutku masih belum maksimal. Karena ketika sedang berjalan-jalan ke luar, aku melihat ada banyak daun-daun kering berserakan di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Tidak hanya itu, di Daerah Ngoresan ada tempat pembuangan sampah yang cukup luas, dan akhirnya banyak sampah-sampah yang berserakan bahkan sampai menganggu jalan. Setiap kali aku melewati daerah itu, aku merasa tidak nyaman karena harus selalu mencium bau yang tidak sedap. Apalagi di sekitarnya, masih ada warung-warung makan, yang akhirnya membuat aku berpikir tentang bagaimana kesehatan makanannya kalau di sekelilingnya terdapat bertumpuk-tumpuk sampah.
Oleh karena itu, aku berharap untuk pemerintah Kota Surakarta supaya lebih memperhatikan lagi kebersihan kota ini. Sangat disayangkan kalau dengan aktivitas budayanya yang kental, namun tidak dibarengi dengan kebersihan kotanya. Petugas Kebersihan Kota lebih diefektifkan dan kalau perlu diperbanyak. Selain itu, tata ruang kota diperbaiki lagi. Misalkan, di daerah yang menjadi salah satu jalan utama di Kota Solo seperti Jalan Slamet Riyadi, jangan ada pedagang-pedagang kaki lima yang terlalu banyak. Perlu ada tempat-tempat tertentu yang dikhususkan untuk mereka. Selain memudahkan dalam mencari, hal ini juga bisa mengurangi sampah yang ditimbulkan oleh para PKL di daerah tersebut.
Kemudian untuk daerah kampus UNS bagian belakang, karena terdapat banyak sekali kos-kosan mahasiswa, hendaknya tempat pembuangan sampah jangan di daerah Ngoresan. Karena kalau banyak kos-kosan, maka banyak warung makan juga. Sehingga, tidak hanya kenyamanan mahasiswa yang tinggal atau sering melewati daerah itu saja yang terganggu, tapi kesehatannya pun juga terganggu.  

Minggu, 25 Agustus 2013


Wajah Korupsi di Indonesia
A.    Pendahuluan
Korupsi dan Indonesia merupakan dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Karena seringkali jika kita berbicara tentang Indonesia maka kita akan mengaitkannya dengan masalah korupsi. Hal ini sangatlah wajar terjadi, mengingat masalah korupsi sudah menjadi semacam penyakit kanker yang telah merusak jaringan syaraf tubuh negara. Jadi, tidak bisa disalahkan jika masyarakat Indonesia sendiri tidak pernah bosan atau tidak henti – hentinya membicarakan masalah korupsi yang ada di negeri ini.
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan – permasalahan korupsi yang ada di negeri ini, tentunya kita harus mencermati terlebih dahulu definisi dari korupsi itu sendiri. Dr. Artidjo Alkostar, SH., LLM, menyatakan:
“Korupsi politik adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintahan negara yang memiliki dampak terhadap keadaan politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang dan atau pihak-pihak yang memiliki jabatan atau posisi politik. Korupsi politik ini bisa dilakukan oleh presiden, kepala pemerintahan, para menteri suatu kabinet yang pada dasarnya memiliki jabatan politis, anggota parlemen, dapat dikualifikasikan sebagai korupsi politik, karena perbuatan itu dilakukan dengan mempergunakan fasilitas atau kemudahan politis yang dipunyai oleh pelaku. Fasilitas yang disalahgunakan tersebut pada dasarnya merupakan amanat atau kepercayaan yang diberikan oleh rakyat” (Alkostar, Artidjo, 2008:19).
B.     Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Jika berbicara mengenai faktor penyebab korupsi itu sendiri, akan banyak sekali pendapat dari para ahli mengenai hal ini. Salah satunya adalah Dyatmika Soemodihardjo. Dalam bukunya yang berjudul Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Dyatmika menjelaskan bahwa dua faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu faktor subyektif yang ada pada pelaku berupa “niat” dan faktor obyektif yang ada di luar diri pelaku berupa “kesempatan” yang ditimbulkan oleh kondisi/keadaan yang memungkinkan dilakukan korupsi[1]. Memang benar apa yang dikatakan oleh Dyatmika tersebut. Ketika seorang pejabat atau tokoh elit politik itu memiliki niat untuk berkorupsi, maka apapun caranya dan bagaimanapun resikonya tidak akan dia pedulikan. Dalam hal ini, ungkapan “There is a will, there is a way” sepertinya memang benar-benar mereka terapkan. Selain dengan memiliki niat, para pejabat atau tokoh elit politik itu juga didukung oleh kesempatan, yang dalam hal ini adalah kekuasaan yang mereka miliki.
Jadi ibaratnya, antara niat dan kesempatan adalah dua faktor yang saling berhubungan satu sama lain. Ketika seorang pejabat mempunyai niat, tapi dia tidak memiliki kesempatan atau kekuasaan untuk menjalankan niat itu, maka dia tidak akan bisa melakukan korupsi. Begitu juga sebaliknya, ketika seorang pejabat itu hanya memiliki kesempatan atau kekuasaan, tetapi sama sekali tidak ada niat untuk melakukan korupsi, maka korupsi itu sendiri juga tidak akan terjadi.
Dalam buku yang sama, juga dijelaskan mengenai teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (GONE Theory), bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan (baca : “korupsi”) meliputi:
-          Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang
-          Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
-          Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
-          Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan[2]
Tidak hanya Dyatmiko, Artidjo Alkostar juga menjelaskan bahwa penyebab korupsi politik, yaitu: (1) Nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan, karena kekuasaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan kewarganegaraan. Terutama kewenangan untuk mendistribusikan ekonomi dan sumber daya alam, serta kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan politik; (2) Tersedianya sarana dan fasilitas ekonomi dan politik yang steril dari budaya dialogis; (3) Tidak adanya kontrol efektif dari rakyat; (4) Faktor iklim sosial politik yang krisis keteladanan dan kevakuman moral; (5) Faktor iklim penegakan hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas penegak hukum merosot, karena adanya krisis institusi dan mental aparat penegak hukum[3].
Kalau dihubungkan, sebenarnya terdapat beberapa kesamaan antara teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (GONE Theory) dan juga pendapat dari Artidjo Alkostar. Hanya saja pengungkapannya yang berbeda.
“Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang” mengandung maksud yang sama dengan “Nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan, karena kekuasaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan kewarganegaraan. Terutama kewenangan untuk mendistribusikan ekonomi dan sumber daya alam, serta kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan politik”.
“Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan” mengandung arti yang sama dengan “Tersedianya sarana dan fasilitas ekonomi dan politik yang steril dari budaya dialogis”.
“Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan” juga mengandung esensi yang sama dengan “Faktor iklim penegakan hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas penegak hukum merosot, karena adanya krisis institusi dan mental aparat penegak hukum”.
C.    Contoh Kasus Korupsi
Menanggapi faktor penyebab korupsi yang sudah dijelaskan oleh Dyatmika  Soemodihardjo dan Artidjo Alkostar di atas, yang ingin ditekankan oleh penulis adalah bahwa dari faktor-faktor tersebut yang paling mempengaruhi atau yang paling dominan dalam menyebabkan seorang pejabat pemerintah berani untuk melakukan korupsi adalah karena kekuasaan. Memang benar jika dikatakan bahwa korupsi itu muncul karena adanya niat untuk melakukan. Akan tetapi, niat itu akan muncul ketika seorang pejabat pemerintah itu memiliki kekuasaan.
Ada satu contoh kasus yang bisa digunakan untuk membuktikan hal tersebut. Misalnya saja yaitu kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games menyasar pada Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, Nazaruddin. Nama Nazaruddin muncul setelah KPK menangkap basah Mindo Rosalina Manulang dan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam bersama cek senilai Rp 3,2 miliar pada 21 April lalu. Rosalina mengaku sebagai anak buah Nazaruddin di PT Anak Negeri[4].
D.    Analisis Kasus
Dalam kasus di atas, bisa dianalisis bahwa jelas-jelas ada kesempatan atau sarana dan fasilitas politik, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai kekuasaan atau jabatan, yang menjadikan Nazaruddin selaku bendahara umum DPP Partai Demokrat maupun Sekretaris Kemenpora, Wafid Muharam, berani untuk menggunakan kekuasaan mereka sebagai alat melakukan tindak pidana korupsi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Paulus Londo dalam artikelnya yang berjudul “Korupsi dan Keruntuhan Penguasa” berpendapat bahwa korupsi senantiasa erat dengan kekuasaan. Sebab korupsi hanya bisa terjadi jika seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan. Sebaliknya, korupsi bisa menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Bahkan menurut Lord Acton, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut juga korupsinya absolut (power tends to corrupt, absolutly power tends to absolutly corrupt)[5].
Korupsi memang sangat sulit untuk dihindari. Apalagi seperti yang sudah diuraikan bahwa, korupsi sangat sulit dihindari di kalangan pejabat yang “dipayungi” oleh kekuasaan. Kekuasaan bisa dibilang sebagai bumerang bagi siapa saja yang memilikinya. Ketika kekuasaan itu bisa dimanfatkan dengan sebaik-baiknya, maka tentu kekuasaan itu akan mendatangkan manfa’at tidak hanya bagi yang memiliki tapi yang paling utama adalah bagi kesejahteraan rakyat. Begitu juga sebaliknya, ketika kekuasaan itu justru diselewengkan, maka itu akan benar-benar mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi yang memilikinya dan juga bagi kesejahteraan rakyatnya.
Berkaitan dengan hal tersebut Aristoteles mengatakan bahwa dia menganjurkan suatu bentuk pemerintahan supaya berjalan normal harus berlandaskan konstitusi (politeia). Konstitusi sangat vital bagi membangun pemerintahan yang baik, dan merupakan payung Negara yang mengendalikan kekuasaan agar tidak diselewengkan karena hukum memberi aturan main pada kekuasaan, yang wajib dijalankan secara konsekuen, praktis dan relistis[6]. Pemikiran Aristoteles ini memang sangat bijak jika digunakan untuk menanggapi permasalahan mengenai pembatasan ataupun pengendalian kekuasaan. Dan sebenarnya Negara Indonesia sudah menjalankan apa yang menjadi pemikiran dari Aristoteles tersebut. Hal ini ditunjukkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Tentunya dengan menjadi negara hukum, seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara harus berlandaskan konstitusi atau hukum yang berlaku. Tidak terkecuali masalah kekuasaan.
Akan tetapi, kenapa ketika sudah ada konstitusi atau hukum yang berlaku, kekuasaan yang diselewengkan demi melakukan tindak pidana korupsi masih saja merajalela dimana-mana? Mungkin dengan satu contoh kasus ini akan menjawab pertanyaan tersebut.
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Penindakan, Bambang Widjojanto mengatakan dua hakim ad hoc yang ditangkap KM dan HK adalah hakim yang sejak lama dipantau KPK dan Mahkamah Agung. Keduanya adalah hakim yang telah beberapa kali memvonis bebas terdakwa dalam kasus korupsi di Pengadilan Tipikor[7]
Berdasarkan contoh di atas, jelas-jelas ini membuktikan bahwa bukannya hukum mengadili seadil-adilnya bagi tersangka tindak pidana korupsi, tapi justru memberikan vonis bebas bagi tersangka tersebut. Vonis bebas yang diberikan oleh hakim ad hoc di pengadilan tipikor kepada terdakwa tindak pidana korupsi bisa dimungkinkan merupakan sebuah hasil dari hubungan kerjasama antara hakim dengan tersangka yang ditandai dengan adanya kasus suap diantara mereka. Bukankah ini merupakan lelucon bagi sebuah negara hukum? Hukum yang seharusnya bertindak fair terhadap semua penyelewengan yang terjadi di negeri ini, tetapi justru harus takluk pada yang namanya “uang”. Jadi memang realitasnya, seorang ahli hukum yang memiliki basis pendidikan hukum yang luas, tidak menjamin bahwa mereka akan menjadi seorang penegak hukum yang adil dan bijak. Dan ternyata, uang memang membutakan mata setiap orang dengan segala profesinya.
Dalam artikelnya yang berjudul “Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusaha”, Bakaruddin Is, seorang pensiunan PNS di Departemen Pertanian, menyatakan:
“Bahkan pasal-pasal dalam pembuatan Undang-Undang pun dapat diperjual belikan. Tinggal “user” maunya apa. Pantas saja banyak UU yang tidak memihak kepada kepentingan Nasional atau rakyat banyak, tetapi untuk kepentingan asing dan para pejabat”[8].
Pernyataan dari Bakaruddin Is tersebut, tentu menyadarkan kita bahwa sekarang ini untuk mencari keadilan hukum yang seadil-adilnya, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan proses dan perombakan kebijakan yang sangat lama. Akan tetapi, sebenarnya proses serta perombakan kebijakan tersebut akan berjalan dengan cepat apabila didukung juga oleh kesadaran diri dari masing-masing individu.
Solusi Penyelesaian
Oleh karena itu, dengan kasus korupsi yang semakin merajalela di berbagai lapisan masyarakat khususnya di kalangan para pejabat yang memiliki kekuasaan penuh dan dengan beberapa masalah lemahnya hukum di Indonesia yang bukannya menjadikan hukum sebagai alat untuk memberantas korupsi, tapi justru menjadi alat untuk menyuburkan korupsi di negeri ini, ada beberapa solusi yang bisa dijadikan sebagai rujukan yang mungkin setidaknya bisa mengurangi korupsi yang ada di negeri ini. Solusinya antara lain:
1.      Diperlukan adanya perubahan sistem hukum dan sistem penegakan hukum dalam upaya penanggulangan korupsi di Indonesia.
Hukum yang sebenarnya sudah ada dan tercantum harus benar-benar ditegakkan supaya tidak menjadi omong kosong belaka.
2.      Diperlukan adanya ketegasan implementasi Code of Conduct dan konsistensi hukuman yang tepat bagi koruptor agar berdimensi prevensi umum dan prevensi khusus[9].
Misalnya saja, korupsi dengan memberikan hadiah kepada seorang hakim, jaksa atau seorang penasihat dengan maksud untuk mempengaruhi putusan atau pertimbangan mengenai suatu perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, diatur dalam pasal 210 KUHP dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun[10].
3.      Dibutuhkan adanya kesadaran kolektif rakyat untuk melawan praktek korupsi.
Jika mungkin hukum yang berlaku belum bisa membuat korupsi di negeri ini berkurang, kesadaran rakyat yang bisa diwujudkan dalam berbagai aksi misalnya saja demonstrasi bisa menjadi salah satu alternatif penyelesaiannya. Hal ini bisa dibuktikan dengan peristiwa tahun 1998 yang menunjukkan bagaimana kesatuan tekad mahasiswa demi menjatuhkan rezim Soeharto dan menggantinya dengan era reformasi, benar-benar terwujud.
4.      Memaksimalkan peran partai politik sebagai tempat kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional.
Sebagai negara demokrasi, tempat bagi kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional adalah dalam partai politik. Dan tentunya partai poltik itu sendiri memiliki spesifikasi tujuan dalam keberjalanannya. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bapak Ganjar Pranoto bahwa salah satu tujuan khusus partai politik adalah untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[11]. Dengan memiliki tujuan seperti itu, dan peran partai poltik sebagai tempat kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional, seharusnya partai politik di Indonesia bisa mencanangkan suatu pendidikan politik yang benar-benar mengajarakan kepada para kadernya tentang pentingnya pemahaman serta implementasi ideologi.
5.      Memaksimalkan Kinerja dari KPK sebagai Badan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Akhir-akhir ini meskipun sempat dilanda beberapa konflik, KPK mampu menunjukkan kepada masyarakat tentang kinerjanya dalam memberantas korupsi di Indonesia. Ditambah lagi dengan gerak KPK yang semakin “gencar” dalam menangkap pelaku-pelaku korupsi itu. Yang terakhir dan yang sempat menghebohkan adalah menjadikan Menpora Andi Mallarangreng sebagai terdakwa kasus korupsi Hambalang.
Selain itu, juga rencana KPK yang ingin “memiskinkan” koruptor harus benar-benar terwujud. Mengenai rencana ini dijelaskan bahwa terobosan hukum yang digunakan KPK adalah penggunaan Pasal 18 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang pembayaran uang pengganti dan penyitaan hasil korupsi. Pasal itu biasa digunakan untuk korupsi yang mengakibatkan kerugian negara secara langsung. Namun, tidak lazim digunakan untuk dakwaan korupsi berupa penerimaan suap[12].
6.      Pemberian remisi kepada para koruptor harus dihilangkan.
Sebenarnya sudah ada aturan mengenai pemberian remisi ini. Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Keppres No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, ada tiga macam remisi yaitu remisi umum, remisi khusus (termasuk remisi khusus yang tertunda remisi khusus bersyarat[13]), dan remisi tambahan. Remisi umum diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan, dan remisi khusus diberikan pada hari besar keagamaan (yang paling dimuliakan) yang dianut oleh para narapidana dan anak pidana yang bersangkutan.
Akan tetapi yang harus diingat adalah koruptor merupakan orang yang telah menghabiskan uang negara dan merugikan seluruh warga negara Indonesia. Kenapa orang seperti itu harus diberi remisi? Walau itu hanya untuk alasan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan ataupun hari besar keagamaan. Penjara yang hanya beberapa tahun saja yang tentunya tidaklah sebanding dengan perjuangan rakyat yang harus berkorban demi membayar pajak, ataupun yang lainnya. Apalagi ditambah jika diberi remisi oleh pemerintah. Bukankah ini adalah salah satu langkah untuk “memanjakan” koruptor dan bukan untuk memberantasnya? Bagi penulis yang pantas bagi orang seperti itu seharusnya bukan remisi melainkan penjara seumur hidup dan pengembalian uang rakyat dengan jumlah yang sama seperti yang telah dikorupsi.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

1.      Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, cetakan pertama, Juni 2008.
2.      Lamintang, SH.,Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991.
3.      Purwasito, Andrik, Pengantar Studi Plitik, Cetakan I, Oktober 2011, Surakarta, UNS Press.
4.      Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Alfa R. (editor), Cetakan I, Juli 2008, Jakarta, Prestasi Pustaka.

Internet:

1.      Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari: http://birokrasi.kompasiana.com/2011/05/19/korupsi-apbn-kolusi-penguasa-dengan-pengusaha/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 16.00 WIB.
2.      Paulus Londo (Korupsi dan Keruntuhan Penguasa, 8 Februari 2012, pukul 14:40), diakses dari: http://politik.kompasiana.com/2012/02/08/korupsi-dan-keruntuhan-penguasa/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 15.00 WIB.
4.      Simarmata, Berlian, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Korupsi dan Teroris, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, dan diakses dari:

Pemaparan langsung:

Pemaparan langsung oleh Bapak Ganjar Pranoto (Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI) dalam seminar politik yang diadakan di aula FISIP UNS pada tanggal 15 Desember 2012 pukul 09.15 WIB mengenai “Optimalisasi Budaya Politik Masyarakat Guna Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Nasional Yang Ideal” (ppt).


[1] Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Alfa R. (editor), cetakan pertama, Juli 2008, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm. 24.

[2] Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, Jakarta, 1999, h 467 dalam Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Alfa R. (editor), cetakan pertama, Juli 2008, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm. 24.


[3] Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, cetakan pertama, Juni 2008, FH UII Press, Yogyakarta, hlm.383.
[4]Pernyataan ini didapat dari artikel yang ditulis oleh Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari:
[5]Pernyataan ini didapat dari artikel yang ditulis oleh Paulus Londo (Korupsi dan Keruntuhan Penguasa, 8 Februari 2012, pukul 14:40), diakses dari:
[6] Purwasito, Andrik, Pengantar Studi Plitik, Cetakan I, Oktober 2011, Surakarta, UNS Press, hlm. 31.
[7] Pernyataan ini ditulis pada hari Jum'at, 17 Agustus 2012 , 16:15:00 dan diakses dari http://www.jpnn.com/read/2012/08/17/137122/2-Hakim-Tipikor-Tertangkap-Tangan-Sering-Bebaskan-Terdakwa-, pada tanggal 29 Desember 2012.
[8]Pernyataan ini didapat dari artikel yang ditulis oleh Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari:


[9] Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, Cetakan I, Juni 2008, Yogyakarta, FH UII Press, hlm. 389.
[10] Lamintang, SH.,Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991, hlm. 263.
[11] Ganjar Pranoto (Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI) dalam seminar politik yang diadakan di aula FISIP UNS pada tanggal 15 Desember 2012 pukul 09.15 WIB mengenai “Optimalisasi Budaya Politik Masyarakat Guna Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Nasional Yang Ideal” (ppt).
[12] KPK Miskinkan Koruptor” dipost pada tanggal 24 Desember 2012 - 08.31 WIB dan diakses dari: http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=21484&kat=2#.UN8Q-azd6So, pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 23.55 WIB.
[13] Diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. M.01.HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat serta Remisi Tambahan dalam Simarmata, Berlian, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Korupsi dan Teroris, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011,  hlm. 509, dan diakses dari:
Desember 2012 23.30 WIB



Template by:

Free Blog Templates