Sabtu, 25 Januari 2014

ADDITION OF RULES PASAL 18 UU PENYIARAN NOMOR 32 TAHUN 2002 DAN PASAL 9 UU PERS NOMOR 40 TAHUN 1999

ADDITION OF RULES PADA PASAL 18 UU PENYIARAN NOMOR 32 TAHUN 2002 DAN PASAL 9 UU PERS NOMOR 40 TAHUN 1999

Berkenaan dengan tema “Peranan Pers dalam Menjaga Kepentingan Nasional” yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul “Bersama Pers, Kita Jaga Kepentingan Nasional” di www.darwinsaleh.com, saya berpandangan bahwa saya tidak setuju pada kalimat dalam artikel tersebut yang menyatakan bahwa media massa berwibawa. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai peranan pers dan kaitannya dengan kewibawaan media saat ini, terlebih dulu saya ingin menekankan bahwa dalam tulisan ini, orientasi pembahasan tentang pers tidak hanya terpatok pada media cetak saja, namun juga media elektronik, seperti televisi. Hal ini merujuk pada Pasal 1 ayat 1 dan 2 UU No 40 Tahun 1999 tentang pers. Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 2 dijelaskan pula bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Menyoroti kondisi media sekarang ini, baik cetak maupun elektronik, alasan saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa media massa berwibawa adalah karena seperti yang dibahas dalam artikel “DKI dalam National Geographic” di www.darwinsaleh.com, media di Indonesia lebih cenderung memuat berita yang bernada pesimis daripada membangkitkan optimisme bangsa. Bad news is a good news. Sehingga opini yang muncul di benak masyarakat adalah, negara ini penuh dengan masalah yang tak ada habisnya, dan prestasi yang sebenarnya ada, justru tenggelam begitu saja. Inilah alasan kenapa media massa sarat akan kepentingan ekonomi. Dalam mencari profit, media lebih melihat sisi menarik dari suatu berita, dan terkadang tidak memedulikan baik buruknya. Bahkan lebih sering, sisi menarik itu adalah informasi yang cenderung bernada pesimis atau negatif.
Selain itu, alasan lain yang mendasari kewibawaan media sebagai pilar kelima negara demokrasi menjadi luntur adalah karena isi berita yang juga sarat akan kepentingan politik. Ini tidak lepas dari peran pemilik media yang justru membiarkan dirinya menjadi bagian dari alur politik yang ada. Mereka seperti tidak memedulikan bagaimana peran seorang pemilik media dalam menjaga netralitas dari media yang dimilikinya. Media massa seakan menjadi kendaraan politik untuk melanggengkan atau bahkan merebut kekuasaan yang diinginkan. Sehingga dengan adanya masalah seperti ini, menjadikan eksistensi media sebagai lembaga independen semakin diragukan. Dan peran pers dalam menjaga kepentingan nasional tak pelak semakin surut akan kepercayaan dari masyarakat.
Adanya masalah tersebut tidaklah lepas dari terjaminnya kebebasan pers saat ini yang memang tidak perlu diragukan lagi. Setelah bebas dari kekangan orde baru, pers di Indonesia terus bergerak secara massif dan cenderung terlalu bebas. Bahkan pers di negara ini melampaui kebebasan yang ada di Amerika Serikat dan juga Jepang. Meskipun juga menganut sistem liberal, namun pers yang ada di kedua negara tersebut jauh lebih “dewasa” dalam menjalankan tugasnya. Di Jepang, betul secara konstitusional pers memiliki kebebasan, artinya tidak secara eksplisit dinyatakan adanya larangan, namun banyak orang Jepang yang lebih memikirkan atau memperhatikan tentang hubungan antar manusia, yang diharapkan berjalan harmonis. Karena takut dikecam oleh masyarakat luas sebagai “orang yang tidak baik”, orang-orang di Jepang lebih menghargai hubungan yang harmonis dibandingkan kebebasan itu sendiri. Andaikan pers di sini bisa seperti itu, pasti tidak ada yang akan mengedepankan kepentingan ekonomi maupun politiknya. Berita yang disajikan akan jauh lebih berkualitas, bebas dari kepentingan apapun, dan keresahan dalam masyarakat tidak akan terjadi.
Untuk itulah, dalam tulisan ini, saya ingin mengulas tentang penyimpangan pers, khususnya masalah kepentingan politik dalam media. Saya tidak membahas dari segi kepentingan ekonominya karena pelanggaran dalam bidang ini telah diatur dalam kode etik jurnalistik, UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, serta UU No 40 Tahun 1999. Menurut saya, ini menyangkut tentang penerapannya saja yang belum maksimal, hingga muncul masalah seperti itu. Sedangkan mengenai kepentingan politik, memang sudah diatur dalam ketiga peraturan di atas, namun ada beberapa poin yang menurut saya perlu ditambahkan dan penting untuk dicantumkan.
Berbicara tentang kepentingan politik di atas, kepentingan nasional yang seharusnya diunggulkan dan dikedepankan dalam suatu media, justru dibumbui oleh kepentingan-kepentingan politik dari para pemiliknya. Sebut saja MNC Group yang membawahi RCTI, MNC TV, Global TV, Koran Sindo, dan juga Okezone.com. Pemiliknya yaitu Harry Tanoesudibjo, justru mencalonkan dirinya sebagai calon wakil presiden dalam pemilu 2014 melalui Partai Hanura. Ditambah dengan Aburizal Bakrie selaku owner dari TVOne serta ANTV yang juga mencalonkan dirinya sebagai calon presiden dalam pemilu 2014 dari Partai Golkar. Selain itu, juga ada Surya Paloh yang merupakan Ketua Partai Nasdem, sebagai pemilik Metro TV serta Media Indonesia.
Kalau para pemilik media tersebut tidak mencampuradukkan antara urusannya di media dengan kepentingannya dalam partai politik, tidak jadi masalah. Namun sayangnya itu tidaklah terjadi. Senetral apapun media, kalau pemiliknya adalah anggota dari partai politik, maka mereka tidak akan bisa lepas dari kepentingan politik yang dibawa oleh pemiliknya sendiri. Apapun itu caranya. Hal ini dicontohkan dengan masa-masa menjelang pemilu seperti ini. Wajah Harry beserta pasangannya yaitu Wiranto, mulai sering menghiasi layar televisi di RCTI. Bahkan saya sempat menghitung, kurang lebih 4 kali dalam seminggu iklan tersebut ditayangkan. Ditambah hanya iklan pasangan itu saja yang ditayangkan, tidak ada iklan dari pasangan lain. Tidak berhenti si situ, selain menampilkan iklan, pasangan ini juga menyajikan kuis yang dinamakan “Kuis Kebangsaan” melalui stasiun yang sama. Sebenarnya kuis ini adalah hal yang positif, namun maksud pencitraan yang ada di balik itu, tidak bisa disembunyikan. Apakah ketika nanti pemilu telah usai, kuis ini akan tetap ada? Konsistensi itulah yang dipertanyakan.
Lain halnya dengan RCTI, di ANTV dan TVOne, mereka lebih memilih untuk menayangkan iklan ARB (Abu Rizal Bakrie). Iklan tersebut menayangkan bagaimana kepedulian Bakrie terhadap hidup para petani dengan turun ke daerah persawahan membantu mereka melakukan pekerjaannya. Penuh dengan pencitraan. Hanya hal-hal baik saja yang ditampilkan, padahal belum tentu kalau nanti Bakrie benar-benar menjadi presiden, hidup para petani itu akan terjamin.
Selain Harry Tanoesudibjo dan Aburizal Bakrie, Surya Paloh juga tidak mau kalah. Melalui stasiun Metro TV, dia sering tampil memenuhi layar kaca dengan memberikan sambutan tentang bagaimana kondisi bangsa ini, yang sebenarnya di balik itu ada maksud kampanye bagi partai barunya yaitu Nasdem. Bahkan saya sempat menghitung, sebanyak 3 kali dalam 4 hari iklan tersebut ditayangkan.
Sebenarnya kita tidak tahu secara pasti apakah maksud dari media memang ingin mengunggulkan kepentingan politik dari pemilik medianya. Namun ketika kita berbicara atau memandang sesuatu yang berbau politis, kita tidak akan pernah terbebas dari unsur kecurigaan. Seperti halnya dengan kejadian di atas. Dalam memandang media yang dikonglomerasi oleh petinggi partai, kita tidak bisa untuk terus menerus berbaik sangka atas semua berita yang disiarkan. Sekarang langsung ke pembuktian saja, kalau memang media-media tersebut merasa dirinya netral dan independen, iklan dari pemilik media itu akan ditayangkan secara seimbang dengan pasangan lain, baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk itu, di sinilah letak kenapa media disebut sebagai tempat pertarungan wacana. Media sarat akan berbagai macam kepentingan yang menjadikan media itu kehilangan wibawa serta independensinya. Padahal perlu kita ingat bahwa frekuensi itu adalah milik rakyat yang harus digunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat, dan bukan sebaliknya. Namun kembali lagi, karena kepentingan politik itu terasa begitu kental, media menuntut kita untuk lebih pintar dalam memilih informasi mana yang harusnya diambil dan mana yang tidak. Karena sekali saja kita lengah dalam mengawasi maksud di balik semua berita yang ada, maka kita akan terbawa arus kepentingan yang dibuat oleh media itu sendiri.
Merujuk pada Pasal 17 ayat (1) dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang pers, dijelaskan bahwa masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Sedangkan Pasal 17 ayat (2) dalam undang-undang yang sama, disebutkan pula kalau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers serta menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Dengan demikian, sebagai warga negara yang ingin menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional, baik itu cetak maupun elektronik, akan lebih baik bila diadakan addition of rules pada Pasal 18 UU Penyiaran No 32 tahun 2002 serta Pasal 9 UU Pers No 40 tahun 1999. Langkah ini perlu dilakukan guna menambahkan beberapa poin yang intinya adalah larangan bagi pemilik media, baik elektronik maupun cetak, untuk tidak bergabung dengan partai politik manapun. Sedangkan masalah hukumannya, saya menyerahkan sepenuhnya pada yang lebih berwenang. Apakah dikenai denda, pencabutan izin penyelenggaraan siaran, ataukah dalam bentuk lain. Yang pasti jangan hanya berbentuk teguran secara tertulis maupun lisan saja. Harus ada hukuman yang bisa memberikan efek jera bagi pelakunya agar tidak melakukan hal yang sama dan memberi pelajaran untuk yang lain.
Larangan tersebut perlu dicantumkan karena dalam Pasal 18 UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, hanya dijelaskan mengenai pembatasan dalam hal kepemilikan media, tanpa mengatur tentang kriteria dari pemilik media itu sendiri. Ditambah dengan Pasal 9 dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, tanpa penjelasan tentang warga negara yang seperti apa.
Dengan begitu, addition of rules yang telah dijelaskan sebelumnya bukan bermaksud untuk mengekang kebebasan seseorang dalam mengikuti partai politik manapun atau membatasi hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap individu. Hanya saja, akibat tingkah para pemilk media yang telah melebihi batas kebebasan itulah yang menyebabkan langkah ini perlu dilakukan. Batas kebebasan dalam Pasal 28 UUD 1945 telah dilanggar, dan kode etik jurnalistik tentang larangan berita yang berpihak juga tidak dihiraukan. Kalau seperti itu terus, cara lain untuk mencegahnya adalah pemilik media tidak boleh bergabung dalam partai politik manapun agar kenetralan dan independensi media dalam negara demokrasi bisa lebih terjaga.
Oleh karena itu, bila larangan tersebut bisa dicantumkan dalam Pasal 18 UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 serta Pasal 9 UU Pers No 40 Tahun 1999 dan diterapkan dengan baik, maka saya yakin, media di Indonesia mampu diandalkan dan menjadi garda terdepan dalam menjaga kepentingan nasional menuju Indonesia yang lebih baik.

Daftar Referensi:
1.    UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
2.    UU Pers No. 40 Tahun 1999
3.    Kode Etik Jurnalistik
4.    Sudjono,   Ilya Revianti, Budaya Sensor-Diri Dalam Kebebasan Pers Di Jepang, Makara, Sosial Humaniora, Vol.10, No.1, Juni 2006, dan diakses dari http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/view/12/8.
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”.



Pemuda Dalam GBK

PEMUDA DALAM GBK
Transformasi SDM melalui Peran Pemuda dalam Gerakan Berbasis Komunitas
Oleh: Arina Rohmatul H.

Berkenaan dengan tema "Dari Keunggulan Sumber Daya Alam menuju Keunggulan Sumber Daya Manusia" yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul "Titik Cerah dalam Transformasi SDM Kita" di www.darwinsaleh.com, saya berpandangan bahwa saya setuju dengan pendapat yang dikemukakan dalam artikel tersebut tentang diperlukannya pelatihan lebih terhadap tenaga kerja Indonesia. Karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa mereka telah menjadi pahlawan devisa bagi negara ini. Untuk itu, selain demi kepentingan ekonomi bangsa, pelatihan tersebut tentunya bisa difungsikan sebagai sarana untuk menjamin kehidupan para TKI menjadi lebih baik. Namun yang perlu ditekankan di sini adalah saya ingin menawarkan solusi yang berbeda dalam membahas mengenai tema di atas. Jadi kalau dalam artikel "Titik Cerah dalam Transformasi SDM Kita" lebih dititikberatkan pada peningkatan kualitas para TKI, maka di sini saya lebih tertarik untuk membahas tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui peran pemuda dalam “Gerakan Berbasis Komunitas”.
Alasan saya memilih “Gerakan Berbasis Komunitas” ini dilandasi pada beberapa pemikiran. Pertama, komunitas adalah bentuk yang sangat relevan untuk melakukan pergerakan dengan adanya kesamaan visi, minat, hobi, atau bakat di antara para anggotanya. Memiliki persamaan yang terkumpul menjadi satu dalam suatu komunitas tertentu, akan menciptakan komunikasi yang efektif pada komunitas tersebut. Anggota yang tergabung di dalamnya akan lebih tertarik untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada visi, minat, hobi, atau bakat mereka. Apalagi dilakukan dengan berkelompok. Ketika seseorang berada dalam suatu kelompok yang memiliki kesamaan dengan dirinya, maka orang itu akan memiliki keberanian lebih untuk bertindak, daripada dia harus bergerak sendiri. Dengan begitu, bisa dimengerti tentang bagaimana peran dari suatu komunitas untuk membuat anggotanya melakukan aksi secara maksimal.
Kedua, “Gerakan Berbasis Komunitas” ini juga merujuk pada pendapat dari Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way "Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial". Pada buku tersebut dia munuturkan bahwa dalam Politik "Jalan Ketiga", kebebasan bagi para demokrat sosial hendaknya berarti otonomi atas tindakan yang dilakukan, yang selanjutnya menuntut keterlibatan komunitas sosial yang lebih luas[1].
Apa yang dikatakan oleh Giddens di atas didasarkan pada pemahaman bahwa kita tidak bisa sepenuhnya menggantungkan nasib bangsa hanya dengan campur tangan pemerintah saja. Suksesi negara akan bisa terwujud bila semua pihak ikut berpartisipasi di dalamnya. Dan salah satu pihak itu adalah melalui komunitas sosial. Sehingga, selain karena bentuk dari komunitas yang sangat relevan dalam melakukan pergerakan, komunitas di sini juga berperan sebagai tangan kanan pemerintah untuk bisa menjalankan program yang belum berjalan secara maksimal. Seperti misalnya, dengan adanya komunitas pecinta lingkungan, maka program pemerintah di bidang lingkungan yang belum berjalan secara maksimal, bisa dilanjutkan atau bahkan dibuat dengan format yang berbeda oleh komunitas tersebut. Tentunya tetap dengan tujuan yang sama yaitu menciptakan lingkungan yang sehat bagi masyarakat.
Ketiga, komunitas bisa memberikan manfaat ganda, yaitu untuk anggota dari komunitas itu sendiri dan juga bagi objek yang menjadi sasarannya. Manfaat ganda tersebut salah satunya bisa didapat dari komunitas yang bergerak dalam kegiatan sosial, seperti memberi pengajaran terhadap orang-orang yang membutuhkan. Anggota dalam komunitas itu akan senantiasa meningkatkan kemampuannya agar bisa memberikan pengajaran yang lebih, sedangkan objek yang menjadi sasarannya akan mendapat ilmu dari apa yang diajarkan.
Dalam menjelaskan hal ini, saya memberi contoh yaitu Program Rumah IYA (Indonesia Youth in Action). Komunitas ini bergerak dalam kegiatan sosial untuk memberikan pengajaran bagi anak-anak difabel, khususnya penderita tuna rungu. Saya pernah ikut dalam kegiatan tersebut, walau hanya sebentar. Para anggota di komunitas itu memiliki hobi dan bakat di beberapa bidang, seperti komputer, fotografi, modeling, dan juga menjahit. Sehingga anggota yang memiliki kesamaan bakat tersebut akan mengajar anak- anak tuna rungu yang tertarik dengan hobi atau bakat mereka.
Langkah yang ditempuh oleh Program Rumah IYA tersebut dinilai cukup efektif. Karena bakat atau hobi yang dimiliki oleh para anggotanya bisa disalurkan terhadap lingkungan sosial di sekitar mereka. Hal ini menunjukkan bahwa hobi atau bakat yang kita miliki tidak seharusnya hanya dinikmati keuntungannya oleh diri kita sendiri. Akan sangat lebih baik bila semua itu bisa dibagi dan memberikan manfaat bagi orang lain yang membutuhkan, sehingga mereka tidak perlu takut lagi untuk bermimpi dan meraih impiannya.
Selain Program Rumah IYA, contoh yang dapat menjelaskan mengenai manfaat ganda dengan membentuk sebuah komunitas adalah Komunitas Sepeda Gunung Cihuni Bike Community. Menurut Taufik, salah satu penggagas adanya komunitas ini, pihaknya bersama teman-teman lain yang sudah lama bergelut di dunia sepeda, tidak hanya ingin menjadikan hobi mereka berhenti sampai di kegiatan itu-itu saja. Mereka ingin menjadikan komunitas ini lebih bermanfaat bagi kalangan sekitar dengan menggelar kegiatan sosial. Sehingga kegiatan sosial seperti santunan anak yatim dan bakti sosial secara rutin mereka laksanakan[2].
Manfaat yang didapat oleh anggota Komunitas Sepeda Gunung Cihuni Bike Community dengan melakukan kegiatan sosial tersebut adalah kepuasan dan kebanggaan. Kepuasan karena bisa memberi kontribusi dalam mencetak generasi-generasi penerus yang berkualitas dan juga bangga bisa ikut membantu mengurangi beban orang-orang yang membutuhkan. Bentuk dari manfaat ini memang tidak bisa diwujudkan dengan materi. Namun rasa puas dan bangga karena telah menjadi orang yang berguna untuk orang lain, tidak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun. Yang bisa menggantikan hanyalah ketika melihat mereka sukses dan bahagia. Itu sudah lebih dari cukup.
Sedangkan manfaat yang didapat oleh objek sasaran dari komunitas sepeda tersebut tentunya adalah bisa meringankan beban ekonomi yang dimiliki. Selain itu, kegiatan sosial itu juga bisa meningkatkan semangat hidup yang lebih tinggi untuk mereka. Karena mereka akan beranggapan bahwa ternyata masih ada yang peduli dan mau untuk memberikan sebagian hartanya demi membantu kehidupan mereka.
Contoh manfaat ganda yang lain adalah adanya Komunitas Pemburu Hama Bajing asal Kediri. Awalnya, anggota dari komunitas ini adalah pemburu burung. Namun, setelah terbit perda larangan berburu burung di Kabupaten Kediri, mereka tidak lagi berani menyalurkan hobinya. Kemudian mereka mencari solusi agar bagaimana caranya menyalurkan hobi, tetapi tetap bermanfaat bagi masyarakat. Akhirnya ketemulah bajing alias tupai sebagai sasaran. Sebab, hewan pengerat itu dianggap sebagai hama, terutama bagi para petani kelapa[3].
Sehingga, manfaat ganda yang didapat dari adanya komunitas ini adalah yang pertama, bagi anggota dari komunitas itu sendiri. Hobi berburu mereka bisa tersalurkan. Kemudian yang kedua adalah bagi lingkungan alam dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Bisa dikatakan bahwa hobi berburu dari anggota Komunitas Pemburu Hama Bajing tersebut mempunyai manfaat ganda baik untuk internal maupun eksternal mereka.
Berangkat dari beberapa alasan serta contoh di atas, saya yakin, ketika sekelompok orang yang membentuk sebuah komunitas tertentu, mereka tidak hanya akan berorientasi untuk memikirkan cara agar visi, minat, hobi, atau bakat mereka tersalurkan. Namun pastinya ada rencana juga untuk bagaimana caranya, kesamaan bakat, hobi, minat, atau visi yang mereka miliki, bisa berguna bagi alam maupun masyarakat di sekitarnya. Untuk itu, tidak akan sia-sia apabila banyak terbentuk komunitas di tengah-tengah masyarakat. Karena secara tidak langsung, komunitas itu adalah wujud kepedulian dari para anggota yang ada di dalamnya untuk bangsa dan negara.
Selain berbicara tentang peran dari terbentuknya sebuah komunitas, di awal saya sudah menjelaskan bahwa “Gerakan Berbasis Komunitas” ini perlu melibatkan peran pemuda di dalamnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran tentang idealisme serta semangat dari pemuda yang begitu tinggi. Ketika seorang pemuda memiliki kemauan yang besar terhadap sesuatu, maka bagaimanapun caranya, dia akan berusaha menggapai apa yang diinginkannya tersebut. Bahkan wejangan dari orang tua terkadang tidak dihiraukan. Sehingga dengan idealisme serta semangat itulah, pemuda memiliki peran sebagai iron stock dan juga agen of change, yang menyebabkan mereka dijadikan sebagai tumpuan bangsa untuk membawa perubahan bagi negara ini.
Kita tentu ingat dan tahu bagaimana peristiwa tahun 1998. Para pemuda yang memiliki ambisi besar untuk menggaungkan semangat reformasi, terbukti mampu menggulingkan tirani pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Mereka tidak sedikit pun takut atau gentar untuk berteriak dengan lantang menuntut Soeharto agar turun dari jabatannya, menduduki Gedung DPR selama 6 jam, dan bahkan rela mengorbankan nyawanya di hadapan senapan tajam para anggota TNI.
Oleh sebab itu, dengan idealisme tinggi yang dimiliki oleh para pemuda, akan sangat berguna bila ditempatkan pada wadah yang tepat. Percuma memiliki semangat tinggi namun tidak punya tempat untuk menyalurkannya. Sebenarnya ada banyak ruang untuk mereka bisa menyalurkan ide ataupun melakukan aksi sosialnya. Seperti dengan menulis artikel di media massa, melakukan demo, aktif dalam organisasi kemahasiswaan atau lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan tidak terkecuali adalah dengan membentuk komunitas.
Dengan demikian, bila peran dari komunitas serta peran yang dimiliki oleh pemuda disatukan melalui “Gerakan Berbasis Komunitas”, saya yakin, kualitas sumber daya manusia yang ada di negara ini akan semakin meningkat. Para pemuda yang memiliki kesamaan visi, minat, hobi, atau bakat disatukan dalam suatu komunitas tertentu, sehingga semangat perubahan dalam diri mereka akan memiliki wadah atau alat yang tepat untuk menyalurkannya. Mereka bisa melakukan berbagai kegiatan sosial dengan segala bentuknya, guna memberikan dampak positif tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga untuk alam dan masyarakat.
Meningkatkan kepedulian pada sekitar tidak akan menjadikan kita rugi. Justru keuntunganlah yang akan selalu kita dapatkan. Keuntungan untuk alam, diri kita sendiri, maupun bagi orang lain. Oleh karena itu, semoga saja sumber daya alam di Indonesia bisa lebih unggul dengan titik tolak peningkatan sumber daya manusia melalui peran pemuda dalam “Gerakan Berbasis Komunitas” ini. Amin. Semangat perubahan.





  [1] Giddens, Anthony, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.
[2] Diakses dari https://m.facebook.com/note.php?note_id=10150337235261717, pada tanggal 14 Januari 2014 pukul 15.34 WIB.
[3] Radar Kediri edisi Sabtu 25 Januari 2014 hlm. 39.

“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”.


Template by:

Free Blog Templates