Sabtu, 25 Januari 2014

ADDITION OF RULES PASAL 18 UU PENYIARAN NOMOR 32 TAHUN 2002 DAN PASAL 9 UU PERS NOMOR 40 TAHUN 1999

ADDITION OF RULES PADA PASAL 18 UU PENYIARAN NOMOR 32 TAHUN 2002 DAN PASAL 9 UU PERS NOMOR 40 TAHUN 1999

Berkenaan dengan tema “Peranan Pers dalam Menjaga Kepentingan Nasional” yang terkandung dalam pesan (artikel) berjudul “Bersama Pers, Kita Jaga Kepentingan Nasional” di www.darwinsaleh.com, saya berpandangan bahwa saya tidak setuju pada kalimat dalam artikel tersebut yang menyatakan bahwa media massa berwibawa. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai peranan pers dan kaitannya dengan kewibawaan media saat ini, terlebih dulu saya ingin menekankan bahwa dalam tulisan ini, orientasi pembahasan tentang pers tidak hanya terpatok pada media cetak saja, namun juga media elektronik, seperti televisi. Hal ini merujuk pada Pasal 1 ayat 1 dan 2 UU No 40 Tahun 1999 tentang pers. Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 2 dijelaskan pula bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Menyoroti kondisi media sekarang ini, baik cetak maupun elektronik, alasan saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa media massa berwibawa adalah karena seperti yang dibahas dalam artikel “DKI dalam National Geographic” di www.darwinsaleh.com, media di Indonesia lebih cenderung memuat berita yang bernada pesimis daripada membangkitkan optimisme bangsa. Bad news is a good news. Sehingga opini yang muncul di benak masyarakat adalah, negara ini penuh dengan masalah yang tak ada habisnya, dan prestasi yang sebenarnya ada, justru tenggelam begitu saja. Inilah alasan kenapa media massa sarat akan kepentingan ekonomi. Dalam mencari profit, media lebih melihat sisi menarik dari suatu berita, dan terkadang tidak memedulikan baik buruknya. Bahkan lebih sering, sisi menarik itu adalah informasi yang cenderung bernada pesimis atau negatif.
Selain itu, alasan lain yang mendasari kewibawaan media sebagai pilar kelima negara demokrasi menjadi luntur adalah karena isi berita yang juga sarat akan kepentingan politik. Ini tidak lepas dari peran pemilik media yang justru membiarkan dirinya menjadi bagian dari alur politik yang ada. Mereka seperti tidak memedulikan bagaimana peran seorang pemilik media dalam menjaga netralitas dari media yang dimilikinya. Media massa seakan menjadi kendaraan politik untuk melanggengkan atau bahkan merebut kekuasaan yang diinginkan. Sehingga dengan adanya masalah seperti ini, menjadikan eksistensi media sebagai lembaga independen semakin diragukan. Dan peran pers dalam menjaga kepentingan nasional tak pelak semakin surut akan kepercayaan dari masyarakat.
Adanya masalah tersebut tidaklah lepas dari terjaminnya kebebasan pers saat ini yang memang tidak perlu diragukan lagi. Setelah bebas dari kekangan orde baru, pers di Indonesia terus bergerak secara massif dan cenderung terlalu bebas. Bahkan pers di negara ini melampaui kebebasan yang ada di Amerika Serikat dan juga Jepang. Meskipun juga menganut sistem liberal, namun pers yang ada di kedua negara tersebut jauh lebih “dewasa” dalam menjalankan tugasnya. Di Jepang, betul secara konstitusional pers memiliki kebebasan, artinya tidak secara eksplisit dinyatakan adanya larangan, namun banyak orang Jepang yang lebih memikirkan atau memperhatikan tentang hubungan antar manusia, yang diharapkan berjalan harmonis. Karena takut dikecam oleh masyarakat luas sebagai “orang yang tidak baik”, orang-orang di Jepang lebih menghargai hubungan yang harmonis dibandingkan kebebasan itu sendiri. Andaikan pers di sini bisa seperti itu, pasti tidak ada yang akan mengedepankan kepentingan ekonomi maupun politiknya. Berita yang disajikan akan jauh lebih berkualitas, bebas dari kepentingan apapun, dan keresahan dalam masyarakat tidak akan terjadi.
Untuk itulah, dalam tulisan ini, saya ingin mengulas tentang penyimpangan pers, khususnya masalah kepentingan politik dalam media. Saya tidak membahas dari segi kepentingan ekonominya karena pelanggaran dalam bidang ini telah diatur dalam kode etik jurnalistik, UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, serta UU No 40 Tahun 1999. Menurut saya, ini menyangkut tentang penerapannya saja yang belum maksimal, hingga muncul masalah seperti itu. Sedangkan mengenai kepentingan politik, memang sudah diatur dalam ketiga peraturan di atas, namun ada beberapa poin yang menurut saya perlu ditambahkan dan penting untuk dicantumkan.
Berbicara tentang kepentingan politik di atas, kepentingan nasional yang seharusnya diunggulkan dan dikedepankan dalam suatu media, justru dibumbui oleh kepentingan-kepentingan politik dari para pemiliknya. Sebut saja MNC Group yang membawahi RCTI, MNC TV, Global TV, Koran Sindo, dan juga Okezone.com. Pemiliknya yaitu Harry Tanoesudibjo, justru mencalonkan dirinya sebagai calon wakil presiden dalam pemilu 2014 melalui Partai Hanura. Ditambah dengan Aburizal Bakrie selaku owner dari TVOne serta ANTV yang juga mencalonkan dirinya sebagai calon presiden dalam pemilu 2014 dari Partai Golkar. Selain itu, juga ada Surya Paloh yang merupakan Ketua Partai Nasdem, sebagai pemilik Metro TV serta Media Indonesia.
Kalau para pemilik media tersebut tidak mencampuradukkan antara urusannya di media dengan kepentingannya dalam partai politik, tidak jadi masalah. Namun sayangnya itu tidaklah terjadi. Senetral apapun media, kalau pemiliknya adalah anggota dari partai politik, maka mereka tidak akan bisa lepas dari kepentingan politik yang dibawa oleh pemiliknya sendiri. Apapun itu caranya. Hal ini dicontohkan dengan masa-masa menjelang pemilu seperti ini. Wajah Harry beserta pasangannya yaitu Wiranto, mulai sering menghiasi layar televisi di RCTI. Bahkan saya sempat menghitung, kurang lebih 4 kali dalam seminggu iklan tersebut ditayangkan. Ditambah hanya iklan pasangan itu saja yang ditayangkan, tidak ada iklan dari pasangan lain. Tidak berhenti si situ, selain menampilkan iklan, pasangan ini juga menyajikan kuis yang dinamakan “Kuis Kebangsaan” melalui stasiun yang sama. Sebenarnya kuis ini adalah hal yang positif, namun maksud pencitraan yang ada di balik itu, tidak bisa disembunyikan. Apakah ketika nanti pemilu telah usai, kuis ini akan tetap ada? Konsistensi itulah yang dipertanyakan.
Lain halnya dengan RCTI, di ANTV dan TVOne, mereka lebih memilih untuk menayangkan iklan ARB (Abu Rizal Bakrie). Iklan tersebut menayangkan bagaimana kepedulian Bakrie terhadap hidup para petani dengan turun ke daerah persawahan membantu mereka melakukan pekerjaannya. Penuh dengan pencitraan. Hanya hal-hal baik saja yang ditampilkan, padahal belum tentu kalau nanti Bakrie benar-benar menjadi presiden, hidup para petani itu akan terjamin.
Selain Harry Tanoesudibjo dan Aburizal Bakrie, Surya Paloh juga tidak mau kalah. Melalui stasiun Metro TV, dia sering tampil memenuhi layar kaca dengan memberikan sambutan tentang bagaimana kondisi bangsa ini, yang sebenarnya di balik itu ada maksud kampanye bagi partai barunya yaitu Nasdem. Bahkan saya sempat menghitung, sebanyak 3 kali dalam 4 hari iklan tersebut ditayangkan.
Sebenarnya kita tidak tahu secara pasti apakah maksud dari media memang ingin mengunggulkan kepentingan politik dari pemilik medianya. Namun ketika kita berbicara atau memandang sesuatu yang berbau politis, kita tidak akan pernah terbebas dari unsur kecurigaan. Seperti halnya dengan kejadian di atas. Dalam memandang media yang dikonglomerasi oleh petinggi partai, kita tidak bisa untuk terus menerus berbaik sangka atas semua berita yang disiarkan. Sekarang langsung ke pembuktian saja, kalau memang media-media tersebut merasa dirinya netral dan independen, iklan dari pemilik media itu akan ditayangkan secara seimbang dengan pasangan lain, baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk itu, di sinilah letak kenapa media disebut sebagai tempat pertarungan wacana. Media sarat akan berbagai macam kepentingan yang menjadikan media itu kehilangan wibawa serta independensinya. Padahal perlu kita ingat bahwa frekuensi itu adalah milik rakyat yang harus digunakan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat, dan bukan sebaliknya. Namun kembali lagi, karena kepentingan politik itu terasa begitu kental, media menuntut kita untuk lebih pintar dalam memilih informasi mana yang harusnya diambil dan mana yang tidak. Karena sekali saja kita lengah dalam mengawasi maksud di balik semua berita yang ada, maka kita akan terbawa arus kepentingan yang dibuat oleh media itu sendiri.
Merujuk pada Pasal 17 ayat (1) dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang pers, dijelaskan bahwa masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. Sedangkan Pasal 17 ayat (2) dalam undang-undang yang sama, disebutkan pula kalau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers serta menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Dengan demikian, sebagai warga negara yang ingin menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional, baik itu cetak maupun elektronik, akan lebih baik bila diadakan addition of rules pada Pasal 18 UU Penyiaran No 32 tahun 2002 serta Pasal 9 UU Pers No 40 tahun 1999. Langkah ini perlu dilakukan guna menambahkan beberapa poin yang intinya adalah larangan bagi pemilik media, baik elektronik maupun cetak, untuk tidak bergabung dengan partai politik manapun. Sedangkan masalah hukumannya, saya menyerahkan sepenuhnya pada yang lebih berwenang. Apakah dikenai denda, pencabutan izin penyelenggaraan siaran, ataukah dalam bentuk lain. Yang pasti jangan hanya berbentuk teguran secara tertulis maupun lisan saja. Harus ada hukuman yang bisa memberikan efek jera bagi pelakunya agar tidak melakukan hal yang sama dan memberi pelajaran untuk yang lain.
Larangan tersebut perlu dicantumkan karena dalam Pasal 18 UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, hanya dijelaskan mengenai pembatasan dalam hal kepemilikan media, tanpa mengatur tentang kriteria dari pemilik media itu sendiri. Ditambah dengan Pasal 9 dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, tanpa penjelasan tentang warga negara yang seperti apa.
Dengan begitu, addition of rules yang telah dijelaskan sebelumnya bukan bermaksud untuk mengekang kebebasan seseorang dalam mengikuti partai politik manapun atau membatasi hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap individu. Hanya saja, akibat tingkah para pemilk media yang telah melebihi batas kebebasan itulah yang menyebabkan langkah ini perlu dilakukan. Batas kebebasan dalam Pasal 28 UUD 1945 telah dilanggar, dan kode etik jurnalistik tentang larangan berita yang berpihak juga tidak dihiraukan. Kalau seperti itu terus, cara lain untuk mencegahnya adalah pemilik media tidak boleh bergabung dalam partai politik manapun agar kenetralan dan independensi media dalam negara demokrasi bisa lebih terjaga.
Oleh karena itu, bila larangan tersebut bisa dicantumkan dalam Pasal 18 UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 serta Pasal 9 UU Pers No 40 Tahun 1999 dan diterapkan dengan baik, maka saya yakin, media di Indonesia mampu diandalkan dan menjadi garda terdepan dalam menjaga kepentingan nasional menuju Indonesia yang lebih baik.

Daftar Referensi:
1.    UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
2.    UU Pers No. 40 Tahun 1999
3.    Kode Etik Jurnalistik
4.    Sudjono,   Ilya Revianti, Budaya Sensor-Diri Dalam Kebebasan Pers Di Jepang, Makara, Sosial Humaniora, Vol.10, No.1, Juni 2006, dan diakses dari http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/view/12/8.
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari www.darwinsaleh.com. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”.



9 komentar:

if_fun mengatakan...

meskipun Q ndak paham tentang politik, tapi memang calon pemimpin di indonesia mencalonkan untuk menambah pundi2 saku mereka bukan mengolah uang negara untuk kesejahteraan orang2 yang dipimpinnya............. >_<

Unknown mengatakan...

tulisannya sudah bagus..
masukan ya ^, pertama, ketika berbicara tentang judicial review, maka ada norma atau uu yang merugikan kepentingan pemohon yang mengajukan baik secara materiil maupun formil, kemudian harus ada norma yang berbenturan atau tidak sinkron, artinya ketika ketika sebuah UU di judicial review, maka uu tersebut normanya bertentangan dengan UUD. sebagaimana fungsi dari judicial review di tingkat UU dan UUD adalah MK (kewenangan MK pengujian UU).

kedua, ketika dalam tulisan diatas ada frasa "mengusulkan pasal" dalam sebuah UU, maka hal itu tidak di ajukan ke MA ataupun MK, namun penambahan pasal lebih kepada Legislatif review, atau review oleh lembaga pembuat UU, atau dalam hal ini DPR.
makasih - haris -

Unknown mengatakan...

nah, kemudian ketika ada tambahan larangan pemilik media untuk ikut bergabung dengan partai politik,
pertanyaannya, apakah tidak bertentangan dengan HAM? kemudian tidak bertentangan dengan UUD 45.
dan dalam hal ini hak politik dari individu, sebagaimana indonesia sudah ratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil dan politik.

kejujuran hati mengatakan...

Makasih mas atas masukannya. Berkat masukan itu aku jadi lebih paham. hehe. Dan karena masukannya juga, essaynya udah tak ubah untuk penggunaan istilah judicial review :). Sedangkan menanggapi untuk pertanyaan tentang apakah tidak bertentangan dengan HAM? Aku berpikir pemilik media itu kan udah diberi kebebasan untuk mereka berpendapat atau berkumpul sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945. Namun pada kenyataannya, mereka menggunakan haknya tersebut secara berlebihan atau melewati batas. Sehingga, apa yang mereka perbuat harus ada konsekuensinya. Dan konsekuensinya itu adalah larangan untuk ikut partai politik. Bisa dibilang, larangan itu akibat dari ulah pemilik media itu sendiri. Di lain sisi, larangan ini juga langkah tambahan untuk mencegah agar media di Indonesia bisa lebih netral dan independen. Karena dalam kode etik, UU Penyiaran, dan UU Pers sebenarnya sudah dilarang bila media berpihak pada kepentingan pihak atau kelompok tertentu. Tapi, aturan itu tidak dihiraukan oleh mereka.

Unknown mengatakan...

Bagus dek...sedikit menambahkan, jangan terlalu fulgar menyebut perusahaaan atau nama tokoh secara langsung...
Kal bisa dibikin inisial aja

kejujuran hati mengatakan...

mungkin bisa dicontohkan mas?

Unknown mengatakan...

Ya, media massa memang sebenarnya berwibawa, hanya saja banyak faktor2 lain yang membuat kewibawaan itu kian meluntur, seperti memuat berita yang bukan merupakan fakta karena takut pada pihak tertentu, banyak juga contoh lain.

silakan berkunjung ke site saya: http://sofia-zhanzabila.blogspot.com/2014/01/negeri-cincin-api-negeri-surga-di-balik.html

kejujuran hati mengatakan...

Terimakasih atas komentarnya :)

Anonim mengatakan...

Lagi ngga bisa mikir tulisan berat selama liburan ini, Rin. -_-
Cuma mau nambahin aja, iklannya WINT-HT ngga cuma 4 kali seminggu. Selain Kuis Kebangsaan di RCTI, mereka juga punya Kuis Indonesia Cerdas di GlobalTV.
Terus, iklan si bapak brewok bersama partainya juga nongol sehari berapppaaaa kaliii saking banyaknya dan emang ngga ngitung.

Sukses, yak :)

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates