Wajah Korupsi di Indonesia
A.
Pendahuluan
Korupsi
dan Indonesia merupakan dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Karena seringkali
jika kita berbicara tentang Indonesia maka kita akan mengaitkannya dengan
masalah korupsi. Hal ini sangatlah wajar terjadi, mengingat masalah korupsi sudah
menjadi semacam penyakit kanker yang telah merusak jaringan syaraf tubuh
negara. Jadi, tidak bisa disalahkan jika masyarakat Indonesia sendiri tidak
pernah bosan atau tidak henti – hentinya membicarakan masalah korupsi yang ada
di negeri ini.
Sebelum
kita membahas mengenai permasalahan – permasalahan korupsi yang ada di negeri
ini, tentunya kita harus mencermati terlebih dahulu definisi dari korupsi itu
sendiri. Dr. Artidjo Alkostar, SH., LLM, menyatakan:
“Korupsi politik adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh elit
politik atau pejabat pemerintahan negara yang memiliki dampak terhadap keadaan
politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang
dan atau pihak-pihak yang memiliki jabatan atau posisi politik. Korupsi politik
ini bisa dilakukan oleh presiden, kepala pemerintahan, para menteri suatu
kabinet yang pada dasarnya memiliki jabatan politis, anggota parlemen, dapat
dikualifikasikan sebagai korupsi politik, karena perbuatan itu dilakukan dengan
mempergunakan fasilitas atau kemudahan politis yang dipunyai oleh pelaku.
Fasilitas yang disalahgunakan tersebut pada dasarnya merupakan amanat atau kepercayaan
yang diberikan oleh rakyat” (Alkostar, Artidjo, 2008:19).
B.
Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Jika
berbicara mengenai faktor penyebab korupsi itu sendiri, akan banyak sekali
pendapat dari para ahli mengenai hal ini. Salah satunya adalah Dyatmika
Soemodihardjo. Dalam bukunya yang berjudul Mencegah Dan Memberantas Korupsi
Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Dyatmika menjelaskan bahwa dua faktor
yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu faktor subyektif yang ada pada pelaku
berupa “niat” dan faktor obyektif yang ada di luar diri pelaku berupa
“kesempatan” yang ditimbulkan oleh kondisi/keadaan yang memungkinkan dilakukan
korupsi[1].
Memang benar apa yang dikatakan oleh Dyatmika tersebut. Ketika seorang pejabat
atau tokoh elit politik itu memiliki niat untuk berkorupsi, maka apapun caranya
dan bagaimanapun resikonya tidak akan dia pedulikan. Dalam hal ini, ungkapan “There
is a will, there is a way” sepertinya memang benar-benar mereka terapkan.
Selain dengan memiliki niat, para pejabat atau tokoh elit politik itu juga
didukung oleh kesempatan, yang dalam hal ini adalah kekuasaan yang mereka
miliki.
Jadi ibaratnya, antara niat dan kesempatan adalah dua faktor yang
saling berhubungan satu sama lain. Ketika seorang pejabat mempunyai niat, tapi
dia tidak memiliki kesempatan atau kekuasaan untuk menjalankan niat itu, maka
dia tidak akan bisa melakukan korupsi. Begitu juga sebaliknya, ketika seorang
pejabat itu hanya memiliki kesempatan atau kekuasaan, tetapi sama sekali tidak
ada niat untuk melakukan korupsi, maka korupsi itu sendiri juga tidak akan
terjadi.
Dalam buku yang sama, juga dijelaskan mengenai teori yang
dikemukakan oleh Jack Bologne (GONE Theory), bahwa faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya kecurangan (baca : “korupsi”) meliputi:
-
Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang
secara potensial ada di dalam diri setiap orang
-
Opportunities
(kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi
atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi
seseorang untuk melakukan kecurangan.
-
Needs
(kebutuhan), berkaitan
dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang
hidupnya yang wajar.
-
Exposures
(pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang
dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan[2]
Tidak
hanya Dyatmiko, Artidjo Alkostar juga menjelaskan bahwa penyebab korupsi
politik, yaitu: (1) Nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas
kekuasaan, karena kekuasaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan
kewarganegaraan. Terutama kewenangan untuk mendistribusikan ekonomi dan sumber
daya alam, serta kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan politik; (2)
Tersedianya sarana dan fasilitas ekonomi dan politik yang steril dari budaya
dialogis; (3) Tidak adanya kontrol efektif dari rakyat; (4) Faktor iklim sosial
politik yang krisis keteladanan dan kevakuman moral; (5) Faktor iklim penegakan
hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas penegak hukum merosot, karena adanya
krisis institusi dan mental aparat penegak hukum[3].
Kalau
dihubungkan, sebenarnya terdapat beberapa kesamaan antara teori yang
dikemukakan oleh Jack Bologne (GONE Theory) dan juga pendapat
dari Artidjo Alkostar. Hanya saja pengungkapannya yang berbeda.
“Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang
secara potensial ada di dalam diri setiap orang” mengandung maksud yang sama
dengan “Nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan, karena
kekuasaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan kewarganegaraan. Terutama
kewenangan untuk mendistribusikan ekonomi dan sumber daya alam, serta kekuasaan
untuk melaksanakan kebijakan politik”.
“Opportunities
(kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi
atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi
seseorang untuk melakukan kecurangan” mengandung arti yang sama dengan
“Tersedianya sarana dan fasilitas ekonomi dan politik yang steril dari budaya
dialogis”.
“Exposures (pengungkapan),
berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan
apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan” juga mengandung esensi yang
sama dengan “Faktor iklim penegakan hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas
penegak hukum merosot, karena adanya krisis institusi dan mental aparat penegak
hukum”.
C.
Contoh Kasus Korupsi
Menanggapi
faktor penyebab korupsi yang sudah dijelaskan oleh Dyatmika Soemodihardjo dan Artidjo Alkostar di atas, yang
ingin ditekankan oleh penulis adalah bahwa dari faktor-faktor tersebut yang
paling mempengaruhi atau yang paling dominan dalam menyebabkan seorang pejabat
pemerintah berani untuk melakukan korupsi adalah karena kekuasaan. Memang benar
jika dikatakan bahwa korupsi itu muncul karena adanya niat untuk melakukan.
Akan tetapi, niat itu akan muncul ketika seorang pejabat pemerintah itu
memiliki kekuasaan.
Ada
satu contoh kasus yang bisa digunakan untuk membuktikan hal tersebut. Misalnya
saja yaitu kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games menyasar pada
Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, Nazaruddin. Nama Nazaruddin muncul setelah
KPK menangkap basah Mindo Rosalina Manulang dan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam
bersama cek senilai Rp 3,2 miliar pada 21 April lalu. Rosalina mengaku sebagai
anak buah Nazaruddin di PT Anak Negeri[4].
D.
Analisis Kasus
Dalam
kasus di atas, bisa dianalisis bahwa jelas-jelas ada kesempatan atau sarana dan
fasilitas politik, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai kekuasaan atau
jabatan, yang menjadikan Nazaruddin selaku bendahara umum DPP Partai Demokrat maupun
Sekretaris Kemenpora, Wafid Muharam, berani untuk menggunakan kekuasaan mereka
sebagai alat melakukan tindak pidana korupsi.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Paulus Londo dalam artikelnya yang berjudul “Korupsi dan
Keruntuhan Penguasa” berpendapat bahwa korupsi senantiasa erat dengan
kekuasaan. Sebab korupsi hanya bisa terjadi jika seseorang atau sekelompok
orang memiliki kekuasaan. Sebaliknya, korupsi bisa menjadi sarana efektif untuk
memperoleh kekuasaan. Bahkan menurut Lord Acton, kekuasaan cenderung korup, dan
kekuasaan absolut juga korupsinya absolut (power tends to corrupt, absolutly power tends
to absolutly corrupt)[5].
Korupsi
memang sangat sulit untuk dihindari. Apalagi seperti yang sudah diuraikan
bahwa, korupsi sangat sulit dihindari di kalangan pejabat yang “dipayungi” oleh
kekuasaan. Kekuasaan bisa dibilang sebagai bumerang bagi siapa saja yang
memilikinya. Ketika kekuasaan itu bisa dimanfatkan dengan sebaik-baiknya, maka
tentu kekuasaan itu akan mendatangkan manfa’at tidak hanya bagi yang memiliki
tapi yang paling utama adalah bagi kesejahteraan rakyat. Begitu juga
sebaliknya, ketika kekuasaan itu justru diselewengkan, maka itu akan
benar-benar mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi yang memilikinya dan
juga bagi kesejahteraan rakyatnya.
Berkaitan
dengan hal tersebut Aristoteles mengatakan bahwa dia menganjurkan suatu bentuk
pemerintahan supaya berjalan normal harus berlandaskan konstitusi (politeia).
Konstitusi sangat vital bagi membangun pemerintahan yang baik, dan merupakan
payung Negara yang mengendalikan kekuasaan agar tidak diselewengkan karena
hukum memberi aturan main pada kekuasaan, yang wajib dijalankan secara
konsekuen, praktis dan relistis[6].
Pemikiran Aristoteles ini memang sangat bijak jika digunakan untuk menanggapi
permasalahan mengenai pembatasan ataupun pengendalian kekuasaan. Dan sebenarnya
Negara Indonesia sudah menjalankan apa yang menjadi pemikiran dari Aristoteles
tersebut. Hal ini ditunjukkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang menyatakan
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Tentunya dengan menjadi negara
hukum, seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara harus berlandaskan konstitusi
atau hukum yang berlaku. Tidak terkecuali masalah kekuasaan.
Akan
tetapi, kenapa ketika sudah ada konstitusi atau hukum yang berlaku, kekuasaan
yang diselewengkan demi melakukan tindak pidana korupsi masih saja merajalela
dimana-mana? Mungkin dengan satu contoh kasus ini akan menjawab pertanyaan
tersebut.
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Penindakan,
Bambang Widjojanto mengatakan dua hakim ad hoc yang ditangkap KM dan HK adalah
hakim yang sejak lama dipantau KPK dan Mahkamah Agung. Keduanya adalah hakim
yang telah beberapa kali memvonis bebas terdakwa dalam kasus korupsi di
Pengadilan Tipikor[7]
Berdasarkan
contoh di atas, jelas-jelas ini membuktikan bahwa bukannya hukum mengadili
seadil-adilnya bagi tersangka tindak pidana korupsi, tapi justru memberikan
vonis bebas bagi tersangka tersebut. Vonis bebas yang diberikan oleh hakim ad
hoc di pengadilan tipikor kepada terdakwa tindak pidana korupsi bisa
dimungkinkan merupakan sebuah hasil dari hubungan kerjasama antara hakim dengan
tersangka yang ditandai dengan adanya kasus suap diantara mereka. Bukankah ini
merupakan lelucon bagi sebuah negara hukum? Hukum yang seharusnya
bertindak fair terhadap semua penyelewengan yang terjadi di negeri ini,
tetapi justru harus takluk pada yang namanya “uang”. Jadi memang realitasnya, seorang
ahli hukum yang memiliki basis pendidikan hukum yang luas, tidak menjamin bahwa
mereka akan menjadi seorang penegak hukum yang adil dan bijak. Dan ternyata,
uang memang membutakan mata setiap orang dengan segala profesinya.
Dalam
artikelnya yang berjudul “Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusaha”,
Bakaruddin Is, seorang pensiunan PNS di Departemen Pertanian, menyatakan:
“Bahkan pasal-pasal dalam pembuatan Undang-Undang pun dapat
diperjual belikan. Tinggal “user” maunya apa. Pantas saja banyak UU yang tidak
memihak kepada kepentingan Nasional atau rakyat banyak, tetapi untuk kepentingan
asing dan para pejabat”[8].
Pernyataan
dari Bakaruddin Is tersebut, tentu menyadarkan kita bahwa sekarang ini untuk
mencari keadilan hukum yang seadil-adilnya, tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Diperlukan proses dan perombakan kebijakan yang sangat lama.
Akan tetapi, sebenarnya proses serta perombakan kebijakan tersebut akan
berjalan dengan cepat apabila didukung juga oleh kesadaran diri dari
masing-masing individu.
Solusi Penyelesaian
Oleh karena itu, dengan kasus
korupsi yang semakin merajalela di berbagai lapisan masyarakat khususnya
di kalangan para pejabat yang memiliki kekuasaan penuh dan dengan beberapa
masalah lemahnya hukum di Indonesia yang bukannya menjadikan hukum sebagai alat
untuk memberantas korupsi, tapi justru menjadi alat untuk menyuburkan korupsi
di negeri ini, ada beberapa solusi yang bisa dijadikan sebagai rujukan yang
mungkin setidaknya bisa mengurangi korupsi yang ada di negeri ini. Solusinya
antara lain:
1.
Diperlukan
adanya perubahan sistem hukum dan sistem penegakan hukum dalam upaya
penanggulangan korupsi di Indonesia.
Hukum yang sebenarnya sudah ada dan tercantum harus benar-benar
ditegakkan supaya tidak menjadi omong kosong belaka.
2.
Diperlukan
adanya ketegasan implementasi Code of Conduct dan konsistensi hukuman
yang tepat bagi koruptor agar berdimensi prevensi umum dan prevensi khusus[9].
Misalnya saja, korupsi dengan memberikan hadiah kepada seorang
hakim, jaksa atau seorang penasihat dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
atau pertimbangan mengenai suatu perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili, diatur dalam pasal 210 KUHP dengan pidana penjara selama-lamanya
tujuh tahun[10].
3.
Dibutuhkan
adanya kesadaran kolektif rakyat untuk melawan praktek korupsi.
Jika mungkin hukum yang berlaku belum bisa membuat korupsi di
negeri ini berkurang, kesadaran rakyat yang bisa diwujudkan dalam berbagai aksi
misalnya saja demonstrasi bisa menjadi salah satu alternatif penyelesaiannya.
Hal ini bisa dibuktikan dengan peristiwa tahun 1998 yang menunjukkan bagaimana
kesatuan tekad mahasiswa demi menjatuhkan rezim Soeharto dan menggantinya
dengan era reformasi, benar-benar terwujud.
4.
Memaksimalkan
peran partai politik sebagai tempat kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional.
Sebagai negara demokrasi, tempat bagi kaderisasi pemimpin-pemimpin
nasional adalah dalam partai politik. Dan tentunya partai poltik itu sendiri
memiliki spesifikasi tujuan dalam keberjalanannya. Sebagaimana yang dipaparkan
oleh Bapak Ganjar Pranoto bahwa salah satu tujuan khusus partai politik adalah
untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara[11].
Dengan memiliki tujuan seperti itu, dan peran partai poltik sebagai tempat
kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional, seharusnya partai politik di Indonesia
bisa mencanangkan suatu pendidikan politik yang benar-benar mengajarakan kepada
para kadernya tentang pentingnya pemahaman serta implementasi ideologi.
5.
Memaksimalkan
Kinerja dari KPK sebagai Badan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Akhir-akhir ini meskipun sempat dilanda beberapa konflik, KPK mampu
menunjukkan kepada masyarakat tentang kinerjanya dalam memberantas korupsi di
Indonesia. Ditambah lagi dengan gerak KPK yang semakin “gencar” dalam menangkap
pelaku-pelaku korupsi itu. Yang terakhir dan yang sempat menghebohkan adalah
menjadikan Menpora Andi Mallarangreng sebagai terdakwa kasus korupsi Hambalang.
Selain itu, juga rencana KPK yang ingin “memiskinkan” koruptor
harus benar-benar terwujud. Mengenai rencana ini dijelaskan bahwa terobosan
hukum yang digunakan KPK adalah penggunaan Pasal 18 dalam UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang pembayaran uang pengganti dan
penyitaan hasil korupsi. Pasal itu biasa digunakan untuk korupsi yang
mengakibatkan kerugian negara secara langsung. Namun, tidak lazim digunakan
untuk dakwaan korupsi berupa penerimaan suap[12].
6.
Pemberian
remisi kepada para koruptor harus dihilangkan.
Sebenarnya sudah ada aturan mengenai pemberian remisi ini.
Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Keppres No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, ada
tiga macam remisi yaitu remisi umum, remisi khusus (termasuk remisi khusus yang
tertunda remisi khusus bersyarat[13]),
dan remisi tambahan. Remisi umum diberikan pada hari peringatan Proklamasi
Kemerdekaan, dan remisi khusus diberikan pada hari besar keagamaan (yang paling
dimuliakan) yang dianut oleh para narapidana dan anak pidana yang bersangkutan.
Akan tetapi yang harus diingat adalah koruptor merupakan orang yang
telah menghabiskan uang negara dan merugikan seluruh warga negara Indonesia.
Kenapa orang seperti itu harus diberi remisi? Walau itu hanya untuk alasan hari
peringatan Proklamasi Kemerdekaan ataupun hari besar keagamaan. Penjara yang
hanya beberapa tahun saja yang tentunya tidaklah sebanding dengan perjuangan
rakyat yang harus berkorban demi membayar pajak, ataupun yang lainnya. Apalagi
ditambah jika diberi remisi oleh pemerintah. Bukankah ini adalah salah satu
langkah untuk “memanjakan” koruptor dan bukan untuk memberantasnya? Bagi
penulis yang pantas bagi orang seperti itu seharusnya bukan remisi melainkan
penjara seumur hidup dan pengembalian uang rakyat dengan jumlah yang sama
seperti yang telah dikorupsi.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
1.
Alkostar,
Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta,
cetakan pertama, Juni 2008.
2.
Lamintang, SH.,Delik-Delik
Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai
Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991.
3.
Purwasito,
Andrik, Pengantar Studi Plitik, Cetakan I, Oktober 2011, Surakarta, UNS
Press.
4.
Soemodihardjo,
Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di
Indonesia, Alfa R. (editor), Cetakan I, Juli 2008, Jakarta, Prestasi
Pustaka.
Internet:
1.
Bakaruddin Is (“Korupsi
APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses
dari: http://birokrasi.kompasiana.com/2011/05/19/korupsi-apbn-kolusi-penguasa-dengan-pengusaha/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 16.00
WIB.
2.
Paulus Londo (Korupsi
dan Keruntuhan Penguasa, 8 Februari 2012, pukul 14:40), diakses dari: http://politik.kompasiana.com/2012/02/08/korupsi-dan-keruntuhan-penguasa/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 15.00
WIB.
3.
http://www.jpnn.com/read/2012/08/17/137122/2-Hakim-Tipikor-Tertangkap-Tangan-Sering-Bebaskan-Terdakwa-, diakses pada tanggal 29 Desember 2012.
4.
Simarmata, Berlian, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana
Korupsi dan Teroris, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, dan
diakses dari:
http://www.mimbar.hukum.ugm.ac.id/index.php/jmh/article/download/261/116, pada tanggal 29 Desember 2012 23.30 WIB
Pemaparan
langsung:
Pemaparan langsung oleh Bapak Ganjar Pranoto (Wakil Ketua Komisi 2
DPR RI) dalam seminar politik yang diadakan di aula FISIP UNS pada tanggal 15
Desember 2012 pukul 09.15 WIB mengenai “Optimalisasi Budaya Politik Masyarakat
Guna Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Nasional Yang Ideal” (ppt).
[1] Soemodihardjo,
Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di
Indonesia, Alfa R. (editor), cetakan pertama, Juli 2008, Jakarta, Prestasi
Pustaka, hlm. 24.
[2] Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat
Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, Jakarta, 1999, h 467 dalam
Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya
Di Indonesia, Alfa R. (editor), cetakan pertama, Juli 2008, Jakarta,
Prestasi Pustaka, hlm. 24.
[3] Alkostar,
Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, cetakan pertama, Juni 2008, FH
UII Press, Yogyakarta, hlm.383.
[4]Pernyataan ini
didapat dari artikel yang ditulis oleh Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi
Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari:
http://birokrasi.kompasiana.com/2011/05/19/korupsi-apbn-kolusi-penguasa-dengan-pengusaha/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 16.00 WIB
[5]Pernyataan ini
didapat dari artikel yang ditulis oleh Paulus Londo (Korupsi dan Keruntuhan
Penguasa, 8 Februari 2012, pukul 14:40), diakses dari:
http://politik.kompasiana.com/2012/02/08/korupsi-dan-keruntuhan-penguasa/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 15.00 WIB
[6] Purwasito,
Andrik, Pengantar Studi Plitik, Cetakan I, Oktober 2011, Surakarta, UNS
Press, hlm. 31.
[7] Pernyataan ini ditulis pada hari
Jum'at, 17 Agustus 2012 , 16:15:00 dan diakses dari http://www.jpnn.com/read/2012/08/17/137122/2-Hakim-Tipikor-Tertangkap-Tangan-Sering-Bebaskan-Terdakwa-, pada tanggal 29 Desember 2012.
[8]Pernyataan ini
didapat dari artikel yang ditulis oleh Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi
Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari:
http://birokrasi.kompasiana.com/2011/05/19/korupsi-apbn-kolusi-penguasa-dengan-pengusaha/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 16.00 WIB
[9] Alkostar, Artidjo, Korupsi
Politik di Negara Modern, Cetakan I, Juni 2008, Yogyakarta, FH UII Press,
hlm. 389.
[10] Lamintang,
SH.,Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan
Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991, hlm.
263.
[11] Ganjar Pranoto
(Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI) dalam seminar politik yang diadakan di aula FISIP
UNS pada tanggal 15 Desember 2012 pukul 09.15 WIB mengenai “Optimalisasi Budaya
Politik Masyarakat Guna Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Nasional Yang Ideal”
(ppt).
[12]
“KPK Miskinkan Koruptor” dipost pada tanggal 24
Desember 2012 - 08.31 WIB dan diakses dari: http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=21484&kat=2#.UN8Q-azd6So,
pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 23.55 WIB.
[13]
Diatur di dalam
Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. M.01.HN.02.01 Tahun
2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat serta
Remisi Tambahan dalam Simarmata, Berlian, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Korupsi dan Teroris, Mimbar Hukum,
Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, hlm.
509, dan diakses dari:
Desember 2012 23.30 WIB
0 komentar:
Posting Komentar