Minggu, 25 Agustus 2013


Wajah Korupsi di Indonesia
A.    Pendahuluan
Korupsi dan Indonesia merupakan dua kata yang tidak bisa dipisahkan. Karena seringkali jika kita berbicara tentang Indonesia maka kita akan mengaitkannya dengan masalah korupsi. Hal ini sangatlah wajar terjadi, mengingat masalah korupsi sudah menjadi semacam penyakit kanker yang telah merusak jaringan syaraf tubuh negara. Jadi, tidak bisa disalahkan jika masyarakat Indonesia sendiri tidak pernah bosan atau tidak henti – hentinya membicarakan masalah korupsi yang ada di negeri ini.
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan – permasalahan korupsi yang ada di negeri ini, tentunya kita harus mencermati terlebih dahulu definisi dari korupsi itu sendiri. Dr. Artidjo Alkostar, SH., LLM, menyatakan:
“Korupsi politik adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintahan negara yang memiliki dampak terhadap keadaan politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang dan atau pihak-pihak yang memiliki jabatan atau posisi politik. Korupsi politik ini bisa dilakukan oleh presiden, kepala pemerintahan, para menteri suatu kabinet yang pada dasarnya memiliki jabatan politis, anggota parlemen, dapat dikualifikasikan sebagai korupsi politik, karena perbuatan itu dilakukan dengan mempergunakan fasilitas atau kemudahan politis yang dipunyai oleh pelaku. Fasilitas yang disalahgunakan tersebut pada dasarnya merupakan amanat atau kepercayaan yang diberikan oleh rakyat” (Alkostar, Artidjo, 2008:19).
B.     Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Jika berbicara mengenai faktor penyebab korupsi itu sendiri, akan banyak sekali pendapat dari para ahli mengenai hal ini. Salah satunya adalah Dyatmika Soemodihardjo. Dalam bukunya yang berjudul Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Dyatmika menjelaskan bahwa dua faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu faktor subyektif yang ada pada pelaku berupa “niat” dan faktor obyektif yang ada di luar diri pelaku berupa “kesempatan” yang ditimbulkan oleh kondisi/keadaan yang memungkinkan dilakukan korupsi[1]. Memang benar apa yang dikatakan oleh Dyatmika tersebut. Ketika seorang pejabat atau tokoh elit politik itu memiliki niat untuk berkorupsi, maka apapun caranya dan bagaimanapun resikonya tidak akan dia pedulikan. Dalam hal ini, ungkapan “There is a will, there is a way” sepertinya memang benar-benar mereka terapkan. Selain dengan memiliki niat, para pejabat atau tokoh elit politik itu juga didukung oleh kesempatan, yang dalam hal ini adalah kekuasaan yang mereka miliki.
Jadi ibaratnya, antara niat dan kesempatan adalah dua faktor yang saling berhubungan satu sama lain. Ketika seorang pejabat mempunyai niat, tapi dia tidak memiliki kesempatan atau kekuasaan untuk menjalankan niat itu, maka dia tidak akan bisa melakukan korupsi. Begitu juga sebaliknya, ketika seorang pejabat itu hanya memiliki kesempatan atau kekuasaan, tetapi sama sekali tidak ada niat untuk melakukan korupsi, maka korupsi itu sendiri juga tidak akan terjadi.
Dalam buku yang sama, juga dijelaskan mengenai teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (GONE Theory), bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan (baca : “korupsi”) meliputi:
-          Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang
-          Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
-          Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
-          Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan[2]
Tidak hanya Dyatmiko, Artidjo Alkostar juga menjelaskan bahwa penyebab korupsi politik, yaitu: (1) Nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan, karena kekuasaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan kewarganegaraan. Terutama kewenangan untuk mendistribusikan ekonomi dan sumber daya alam, serta kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan politik; (2) Tersedianya sarana dan fasilitas ekonomi dan politik yang steril dari budaya dialogis; (3) Tidak adanya kontrol efektif dari rakyat; (4) Faktor iklim sosial politik yang krisis keteladanan dan kevakuman moral; (5) Faktor iklim penegakan hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas penegak hukum merosot, karena adanya krisis institusi dan mental aparat penegak hukum[3].
Kalau dihubungkan, sebenarnya terdapat beberapa kesamaan antara teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne (GONE Theory) dan juga pendapat dari Artidjo Alkostar. Hanya saja pengungkapannya yang berbeda.
“Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang” mengandung maksud yang sama dengan “Nafsu politik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan, karena kekuasaan adalah kewenangan untuk mengatur kehidupan kewarganegaraan. Terutama kewenangan untuk mendistribusikan ekonomi dan sumber daya alam, serta kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan politik”.
“Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan” mengandung arti yang sama dengan “Tersedianya sarana dan fasilitas ekonomi dan politik yang steril dari budaya dialogis”.
“Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan” juga mengandung esensi yang sama dengan “Faktor iklim penegakan hukum yang tragikomis, dimana kredibilitas penegak hukum merosot, karena adanya krisis institusi dan mental aparat penegak hukum”.
C.    Contoh Kasus Korupsi
Menanggapi faktor penyebab korupsi yang sudah dijelaskan oleh Dyatmika  Soemodihardjo dan Artidjo Alkostar di atas, yang ingin ditekankan oleh penulis adalah bahwa dari faktor-faktor tersebut yang paling mempengaruhi atau yang paling dominan dalam menyebabkan seorang pejabat pemerintah berani untuk melakukan korupsi adalah karena kekuasaan. Memang benar jika dikatakan bahwa korupsi itu muncul karena adanya niat untuk melakukan. Akan tetapi, niat itu akan muncul ketika seorang pejabat pemerintah itu memiliki kekuasaan.
Ada satu contoh kasus yang bisa digunakan untuk membuktikan hal tersebut. Misalnya saja yaitu kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games menyasar pada Bendahara Umum DPP Partai Demokrat, Nazaruddin. Nama Nazaruddin muncul setelah KPK menangkap basah Mindo Rosalina Manulang dan Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam bersama cek senilai Rp 3,2 miliar pada 21 April lalu. Rosalina mengaku sebagai anak buah Nazaruddin di PT Anak Negeri[4].
D.    Analisis Kasus
Dalam kasus di atas, bisa dianalisis bahwa jelas-jelas ada kesempatan atau sarana dan fasilitas politik, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai kekuasaan atau jabatan, yang menjadikan Nazaruddin selaku bendahara umum DPP Partai Demokrat maupun Sekretaris Kemenpora, Wafid Muharam, berani untuk menggunakan kekuasaan mereka sebagai alat melakukan tindak pidana korupsi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Paulus Londo dalam artikelnya yang berjudul “Korupsi dan Keruntuhan Penguasa” berpendapat bahwa korupsi senantiasa erat dengan kekuasaan. Sebab korupsi hanya bisa terjadi jika seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan. Sebaliknya, korupsi bisa menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Bahkan menurut Lord Acton, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut juga korupsinya absolut (power tends to corrupt, absolutly power tends to absolutly corrupt)[5].
Korupsi memang sangat sulit untuk dihindari. Apalagi seperti yang sudah diuraikan bahwa, korupsi sangat sulit dihindari di kalangan pejabat yang “dipayungi” oleh kekuasaan. Kekuasaan bisa dibilang sebagai bumerang bagi siapa saja yang memilikinya. Ketika kekuasaan itu bisa dimanfatkan dengan sebaik-baiknya, maka tentu kekuasaan itu akan mendatangkan manfa’at tidak hanya bagi yang memiliki tapi yang paling utama adalah bagi kesejahteraan rakyat. Begitu juga sebaliknya, ketika kekuasaan itu justru diselewengkan, maka itu akan benar-benar mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi yang memilikinya dan juga bagi kesejahteraan rakyatnya.
Berkaitan dengan hal tersebut Aristoteles mengatakan bahwa dia menganjurkan suatu bentuk pemerintahan supaya berjalan normal harus berlandaskan konstitusi (politeia). Konstitusi sangat vital bagi membangun pemerintahan yang baik, dan merupakan payung Negara yang mengendalikan kekuasaan agar tidak diselewengkan karena hukum memberi aturan main pada kekuasaan, yang wajib dijalankan secara konsekuen, praktis dan relistis[6]. Pemikiran Aristoteles ini memang sangat bijak jika digunakan untuk menanggapi permasalahan mengenai pembatasan ataupun pengendalian kekuasaan. Dan sebenarnya Negara Indonesia sudah menjalankan apa yang menjadi pemikiran dari Aristoteles tersebut. Hal ini ditunjukkan dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Tentunya dengan menjadi negara hukum, seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara harus berlandaskan konstitusi atau hukum yang berlaku. Tidak terkecuali masalah kekuasaan.
Akan tetapi, kenapa ketika sudah ada konstitusi atau hukum yang berlaku, kekuasaan yang diselewengkan demi melakukan tindak pidana korupsi masih saja merajalela dimana-mana? Mungkin dengan satu contoh kasus ini akan menjawab pertanyaan tersebut.
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Penindakan, Bambang Widjojanto mengatakan dua hakim ad hoc yang ditangkap KM dan HK adalah hakim yang sejak lama dipantau KPK dan Mahkamah Agung. Keduanya adalah hakim yang telah beberapa kali memvonis bebas terdakwa dalam kasus korupsi di Pengadilan Tipikor[7]
Berdasarkan contoh di atas, jelas-jelas ini membuktikan bahwa bukannya hukum mengadili seadil-adilnya bagi tersangka tindak pidana korupsi, tapi justru memberikan vonis bebas bagi tersangka tersebut. Vonis bebas yang diberikan oleh hakim ad hoc di pengadilan tipikor kepada terdakwa tindak pidana korupsi bisa dimungkinkan merupakan sebuah hasil dari hubungan kerjasama antara hakim dengan tersangka yang ditandai dengan adanya kasus suap diantara mereka. Bukankah ini merupakan lelucon bagi sebuah negara hukum? Hukum yang seharusnya bertindak fair terhadap semua penyelewengan yang terjadi di negeri ini, tetapi justru harus takluk pada yang namanya “uang”. Jadi memang realitasnya, seorang ahli hukum yang memiliki basis pendidikan hukum yang luas, tidak menjamin bahwa mereka akan menjadi seorang penegak hukum yang adil dan bijak. Dan ternyata, uang memang membutakan mata setiap orang dengan segala profesinya.
Dalam artikelnya yang berjudul “Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusaha”, Bakaruddin Is, seorang pensiunan PNS di Departemen Pertanian, menyatakan:
“Bahkan pasal-pasal dalam pembuatan Undang-Undang pun dapat diperjual belikan. Tinggal “user” maunya apa. Pantas saja banyak UU yang tidak memihak kepada kepentingan Nasional atau rakyat banyak, tetapi untuk kepentingan asing dan para pejabat”[8].
Pernyataan dari Bakaruddin Is tersebut, tentu menyadarkan kita bahwa sekarang ini untuk mencari keadilan hukum yang seadil-adilnya, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan proses dan perombakan kebijakan yang sangat lama. Akan tetapi, sebenarnya proses serta perombakan kebijakan tersebut akan berjalan dengan cepat apabila didukung juga oleh kesadaran diri dari masing-masing individu.
Solusi Penyelesaian
Oleh karena itu, dengan kasus korupsi yang semakin merajalela di berbagai lapisan masyarakat khususnya di kalangan para pejabat yang memiliki kekuasaan penuh dan dengan beberapa masalah lemahnya hukum di Indonesia yang bukannya menjadikan hukum sebagai alat untuk memberantas korupsi, tapi justru menjadi alat untuk menyuburkan korupsi di negeri ini, ada beberapa solusi yang bisa dijadikan sebagai rujukan yang mungkin setidaknya bisa mengurangi korupsi yang ada di negeri ini. Solusinya antara lain:
1.      Diperlukan adanya perubahan sistem hukum dan sistem penegakan hukum dalam upaya penanggulangan korupsi di Indonesia.
Hukum yang sebenarnya sudah ada dan tercantum harus benar-benar ditegakkan supaya tidak menjadi omong kosong belaka.
2.      Diperlukan adanya ketegasan implementasi Code of Conduct dan konsistensi hukuman yang tepat bagi koruptor agar berdimensi prevensi umum dan prevensi khusus[9].
Misalnya saja, korupsi dengan memberikan hadiah kepada seorang hakim, jaksa atau seorang penasihat dengan maksud untuk mempengaruhi putusan atau pertimbangan mengenai suatu perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili, diatur dalam pasal 210 KUHP dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun[10].
3.      Dibutuhkan adanya kesadaran kolektif rakyat untuk melawan praktek korupsi.
Jika mungkin hukum yang berlaku belum bisa membuat korupsi di negeri ini berkurang, kesadaran rakyat yang bisa diwujudkan dalam berbagai aksi misalnya saja demonstrasi bisa menjadi salah satu alternatif penyelesaiannya. Hal ini bisa dibuktikan dengan peristiwa tahun 1998 yang menunjukkan bagaimana kesatuan tekad mahasiswa demi menjatuhkan rezim Soeharto dan menggantinya dengan era reformasi, benar-benar terwujud.
4.      Memaksimalkan peran partai politik sebagai tempat kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional.
Sebagai negara demokrasi, tempat bagi kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional adalah dalam partai politik. Dan tentunya partai poltik itu sendiri memiliki spesifikasi tujuan dalam keberjalanannya. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bapak Ganjar Pranoto bahwa salah satu tujuan khusus partai politik adalah untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara[11]. Dengan memiliki tujuan seperti itu, dan peran partai poltik sebagai tempat kaderisasi pemimpin-pemimpin nasional, seharusnya partai politik di Indonesia bisa mencanangkan suatu pendidikan politik yang benar-benar mengajarakan kepada para kadernya tentang pentingnya pemahaman serta implementasi ideologi.
5.      Memaksimalkan Kinerja dari KPK sebagai Badan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Akhir-akhir ini meskipun sempat dilanda beberapa konflik, KPK mampu menunjukkan kepada masyarakat tentang kinerjanya dalam memberantas korupsi di Indonesia. Ditambah lagi dengan gerak KPK yang semakin “gencar” dalam menangkap pelaku-pelaku korupsi itu. Yang terakhir dan yang sempat menghebohkan adalah menjadikan Menpora Andi Mallarangreng sebagai terdakwa kasus korupsi Hambalang.
Selain itu, juga rencana KPK yang ingin “memiskinkan” koruptor harus benar-benar terwujud. Mengenai rencana ini dijelaskan bahwa terobosan hukum yang digunakan KPK adalah penggunaan Pasal 18 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang pembayaran uang pengganti dan penyitaan hasil korupsi. Pasal itu biasa digunakan untuk korupsi yang mengakibatkan kerugian negara secara langsung. Namun, tidak lazim digunakan untuk dakwaan korupsi berupa penerimaan suap[12].
6.      Pemberian remisi kepada para koruptor harus dihilangkan.
Sebenarnya sudah ada aturan mengenai pemberian remisi ini. Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Keppres No. 174 Tahun 1999 tentang remisi, ada tiga macam remisi yaitu remisi umum, remisi khusus (termasuk remisi khusus yang tertunda remisi khusus bersyarat[13]), dan remisi tambahan. Remisi umum diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan, dan remisi khusus diberikan pada hari besar keagamaan (yang paling dimuliakan) yang dianut oleh para narapidana dan anak pidana yang bersangkutan.
Akan tetapi yang harus diingat adalah koruptor merupakan orang yang telah menghabiskan uang negara dan merugikan seluruh warga negara Indonesia. Kenapa orang seperti itu harus diberi remisi? Walau itu hanya untuk alasan hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan ataupun hari besar keagamaan. Penjara yang hanya beberapa tahun saja yang tentunya tidaklah sebanding dengan perjuangan rakyat yang harus berkorban demi membayar pajak, ataupun yang lainnya. Apalagi ditambah jika diberi remisi oleh pemerintah. Bukankah ini adalah salah satu langkah untuk “memanjakan” koruptor dan bukan untuk memberantasnya? Bagi penulis yang pantas bagi orang seperti itu seharusnya bukan remisi melainkan penjara seumur hidup dan pengembalian uang rakyat dengan jumlah yang sama seperti yang telah dikorupsi.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

1.      Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta, cetakan pertama, Juni 2008.
2.      Lamintang, SH.,Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991.
3.      Purwasito, Andrik, Pengantar Studi Plitik, Cetakan I, Oktober 2011, Surakarta, UNS Press.
4.      Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Alfa R. (editor), Cetakan I, Juli 2008, Jakarta, Prestasi Pustaka.

Internet:

1.      Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari: http://birokrasi.kompasiana.com/2011/05/19/korupsi-apbn-kolusi-penguasa-dengan-pengusaha/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 16.00 WIB.
2.      Paulus Londo (Korupsi dan Keruntuhan Penguasa, 8 Februari 2012, pukul 14:40), diakses dari: http://politik.kompasiana.com/2012/02/08/korupsi-dan-keruntuhan-penguasa/, pada tanggal 22 November 2012 pukul 15.00 WIB.
4.      Simarmata, Berlian, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Korupsi dan Teroris, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, dan diakses dari:

Pemaparan langsung:

Pemaparan langsung oleh Bapak Ganjar Pranoto (Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI) dalam seminar politik yang diadakan di aula FISIP UNS pada tanggal 15 Desember 2012 pukul 09.15 WIB mengenai “Optimalisasi Budaya Politik Masyarakat Guna Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Nasional Yang Ideal” (ppt).


[1] Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Alfa R. (editor), cetakan pertama, Juli 2008, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm. 24.

[2] Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, Jakarta, 1999, h 467 dalam Soemodihardjo, Dyatmiko, Mencegah Dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya Di Indonesia, Alfa R. (editor), cetakan pertama, Juli 2008, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm. 24.


[3] Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, cetakan pertama, Juni 2008, FH UII Press, Yogyakarta, hlm.383.
[4]Pernyataan ini didapat dari artikel yang ditulis oleh Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari:
[5]Pernyataan ini didapat dari artikel yang ditulis oleh Paulus Londo (Korupsi dan Keruntuhan Penguasa, 8 Februari 2012, pukul 14:40), diakses dari:
[6] Purwasito, Andrik, Pengantar Studi Plitik, Cetakan I, Oktober 2011, Surakarta, UNS Press, hlm. 31.
[7] Pernyataan ini ditulis pada hari Jum'at, 17 Agustus 2012 , 16:15:00 dan diakses dari http://www.jpnn.com/read/2012/08/17/137122/2-Hakim-Tipikor-Tertangkap-Tangan-Sering-Bebaskan-Terdakwa-, pada tanggal 29 Desember 2012.
[8]Pernyataan ini didapat dari artikel yang ditulis oleh Bakaruddin Is (“Korupsi APBN: Kolusi Penguasa dan Pengusah”, 19 Mei 2011, pukul 09:12), diakses dari:


[9] Alkostar, Artidjo, Korupsi Politik di Negara Modern, Cetakan I, Juni 2008, Yogyakarta, FH UII Press, hlm. 389.
[10] Lamintang, SH.,Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung, 1991, hlm. 263.
[11] Ganjar Pranoto (Wakil Ketua Komisi 2 DPR RI) dalam seminar politik yang diadakan di aula FISIP UNS pada tanggal 15 Desember 2012 pukul 09.15 WIB mengenai “Optimalisasi Budaya Politik Masyarakat Guna Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Nasional Yang Ideal” (ppt).
[12] KPK Miskinkan Koruptor” dipost pada tanggal 24 Desember 2012 - 08.31 WIB dan diakses dari: http://www.riaupos.co/berita.php?act=full&id=21484&kat=2#.UN8Q-azd6So, pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 23.55 WIB.
[13] Diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia No. M.01.HN.02.01 Tahun 2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda dan Remisi Khusus Bersyarat serta Remisi Tambahan dalam Simarmata, Berlian, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Korupsi dan Teroris, Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011,  hlm. 509, dan diakses dari:
Desember 2012 23.30 WIB



0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates