IMAJERI GENERASI MUDA INDONESIA
Generasi muda adalah generasi pemilik masa depan. Ketika kita
berbicara mengenai generasi muda, maka yang akan muncul dalam benak kita adalah
gambaran mengenai sosok yang beridealisme tinggi, aktor sebagai agen of change, dan juga tentang generasi
muda yang memiliki semangat tinggi dalam membawa perubahan bagi negara. Generasi muda atau yang biasa kita sebut
sebagai pemuda sudah mulai menunjukkan eksistensinya yang dimulai pada bulan Mei
tahun 1908. Pada tahun tersebut seorang pemuda yang bernama Sutomo beserta
dengan kawan-kawannya yang merasa tergugah hatinya dengan keadaan yang menimpa
masyarakat Indonesia atau khususnya masyarakat Jawa, membentuk sebuah
organisasi pemuda yang bernama Budi Utomo. Organisasi inilah yang pada akhirnya
menjadi sebuah tonggak sejarah bagi perkembangan pergerakan nasional di
Indonesia.
Semangat dan juga idealisme yang tinggi demi memperjuangkan nasib
rakyat Indonesia yang rindu akan kemerdekaan dari imperialisme bangsa asing,
membuat Sutomo dan rekan-rekannya tidak tinggal diam. Dengan mendirikan sebuah
organisasi pemuda, menunjukkan bahwa sekelumit pemuda ini berani untuk terjun
dan ikut campur dalam dunia politik yang pada saat itu sedang dikuasai oleh
politik kolonial Belanda.
Dengan selintas sejarah mengenai bagaimana para pemuda berjuang
dalam dunia perpolitikan demi menentang politik kolonial Belanda, bukankah
sudah menjadi sebuah tanda bahwa sebenarnya politik di negeri ini membutuhkan
campur tangan para pemuda?
Sementara
itu, kebebasan berpendapat diatur dalam pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),
dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (http://id.wikisource.org, 29 Maret
2013:09.39). Kemerdekaan berpendapat yang sudah diatur dalam UUD 1945 tersebut
juga sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang
berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak
mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan
pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas"
(http://hukumonline.com,
29 Maret 2013:09.41).
Dengan
selintas sejarah tentang bagaimana kiprah para pemuda dalam perpolitikan
Indonesia, serta dengan adanya jaminan hukum mengenai kebebasan berpendapat seperti
yang terdapat dalam UUD 1945 dan juga Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia, tentu menjadi sebuah jawaban yang cukup bahwa siapa saja, tidak
terkecuali para generasi muda berhak untuk tidak hanya bicara, bahkan melakukan
sebuah aksi dalam segala bidang apalagi dalam politik. Hal ini memiliki
relevansi apabila dihubungkan dengan pernyataan dari Andrik Purwasito dalam
bukunya yang berjudul Pengantar Studi Politik (2011) bahwa pelaku
politik adalah warga negara dalam suatu wilayah yuridiksi nasional dan setiap
warga negara mempunyai hak serta kewajiban dalam politik. Lebih dari itu, misalnya
saja ada seorang anak kecil yang sudah mengerti tentang politik itu seperti apa,
maka tidak ada larangan baginya untuk berbicara mengenai hal itu. Dia berhak
untuk menyampaikan pendapatnya ataupun aspirasinya walaupun dia hanyalah
seorang anak yang masih berusia 5 tahun.
Di
samping itu, para pejabat pemerintah yang duduk di kursi pemerintahan, misalnya
saja seorang presiden. Dalam pasal 1 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara
Pencalonan Dan Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Republik Indonesia (http://tatanusa.co.id,
27 Maret 2013:20.24) disebutkan bahwa persyaratan
seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden harus sudah berusia 40
tahun. Kalau dari persyaratan calon presidennya saja sudah seperti itu, maka
tentunya kita bisa melihat bahwa para pejabat yang duduk di kursi pemerintahan bukanlah
seseorang yang muda lagi. Mereka adalah para generasi tua yang tugasnya adalah
membuat keputusan, kebijakan, dan menciptakan suatu tatanan sosial dalam
masyarakat. Dari hal inilah, jika dipikir secara logika, kalau yang membuat
kebijakan ataupun keputusan adalah para generasi tua, siapakah yang akan
menentang jika ada kesalahan dalam kebijakan tersebut? Siapakah yang akan
membenarkan jika ada yang perlu dibenarkan di dalamnya? Siapakah yang akan
menilai bagaimana kinerja pemerintah dalam merumuskan kebijakan? Siapakah yang
akan melakukan semua itu kalau bukan kita para generasi muda. Bahkan dalam
pidatonya saja, Faisal Bashri (Sabtu, 23 Maret 2013: 15.25) mengatakan bahwa jangan
mau diperintah sama yang tua-tua yang tidak mau berpikir lagi.
Dengan
demikian, ketika kita berbicara mengenai apakah generasi muda boleh berbicara
mengenai politik, tentu saja jawabannya adalah boleh. Tidak hanya karena
catatan sejarah yang menjelaskan bagaimana kiprah pemuda ataupun karena adanya
kebebasan berpendapat yang sudah ada jaminan hukumnya, tetapi yang paling
penting dari semua ini adalah tentang bagaimana peran dari generasi muda itu
sendiri. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa generasi muda adalah
generasi pemilik masa depan. Generasi muda adalah generasi penerus bangsa sekaligus
generasi penentu yang akan menentukan akan dibawa kemana negeri ini. Apakah
negeri ini akan mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, apakah akan
mengalami kondisi yang sama seperti sebelumnya, atau apakah justru lebih buruk
dari sebelumnya, semua jawabannya tergantung dari para pemuda.
Dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para pemuda tentu membutuhkan sebuah
alat untuk menjawabnya. Dan alat yang mereka butuhkan saat ini adalah dengan
menggunakan politik. Karena menurut Peter Merkl (2010), politik dalam bentuk
yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan
berkeadilan (politics, as its best is a noble quest for a good order and
justice). Jadi bisa dikatakan bahwa siapapun yang menginginkan sebuah
tatanan sosial yang baik dan berkeadilan haruslah melalui politik. Hal ini
semakin menegaskan bahwa politik merupakan alat perjuangan bagi siapa saja yang
ingin membawa perubahan bagi negara ini.
Akan tetapi kalau kita mengingat
tentang bagaimana realitas dari politik sekarang ini, peran penting dari
politik tidak diimbangi dengan citra yang sudah terlanjur terbentuk di dalam
masyarakat mengenai politik itu sendiri. Sebagian besar orang menganggap bahwa
politik itu kotor, politik itu cenderung korup, politik itu tempatnya para
koruptor, dan lain sebagainya. Bahkan Peter Merkl (2010) juga merumuskan bahwa
politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan,
dan kekayaan untuk kepentingan sendiri (politics at its worst is a
selfishgrab for power, glory and riches).
Oleh karena itu, dengan berbagai
masalah yang ada dalam dunia perpolitikan Indonesia, generasi muda sekarang
memang dituntut untuk berpikir kritis. Karena jika para pemuda sekarang
hanyalah menjadi seorang yang pasif, maka itu akan menjadi sebuah “angin segar”
bagi para “orang tua” yang memiliki kedudukan atau kekuasaan, untuk semakin
mudah dalam menyelewengkan atributnya tersebut demi mememenuhi kepentingannya
sendiri. Dan juga, ketika para pemuda bisa berpikir secara kritis, maka mereka
akan mampu menjadi pengendali atau controller bagi kinerja pemerintah,
di samping hukum sebagai pengendalinya.
Para pemuda tidak perlu khawatir tentang apakah aspirasi mereka
bisa didengar atau tidak. Karena banyak sekali wadah yang mampu menampung
aspirasi ataupun pendapat-pendapat mereka tersebut. Mereka bisa berbicara
ataupun menulis melalui berbagai media, baik itu media cetak maupun elektronik.
Dan sebenarnya tidak hanya melalui media saja, tetapi mereka juga bisa melakukannya
melalui sebuah aksi, seperti dengan aksi demonstrasi.
Dengan
menjadi pengendali pemerintah baik melalui lisan, tulisan, ataupun dengan
melakukan sebuah aksi, itulah sebagai salah satu bukti pengabdian serta
kecintaan para pemuda terhadap tanah air. Karena dengan cinta, maka kita
peduli. Seperti yang terjadi pada tahun 1998. Di mana pada tahun tersebut,
dengan segala kepeduliannya terhadap nasib negeri ini, membuat para pemuda
mampu menaklukkan 32 tahun kepemerintahan Soeharto. Para mahasiswa dari
berbagai universitas berbondong-bondong memenuhi gedung DPR untuk meneriakkan
aspirasi mereka, dan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka sampai berani menduduki
gedung DPR selama 6 jam yang akhirnya mengantarkan Soeharto untuk melepaskan
jabatannya sebagai seorang presiden.
Tentu hal ini menjadi
sebuah pelajaran tersendiri bagi generasi muda bahwa sekarang bukanlah saatnya
bagi mereka untuk sekedar menjadi penonton ataupun pengagum dari apa yang telah
terjadi. Para pemuda bukanlah sebuah boneka yang hanya bisa dipermainkan dan
dibodohi oleh mereka yang ahli berpolitik. Tapi sekarang adalah saatnya bagi mereka,
untuk menunjukkan bahwa sudah waktunya bagi yang muda yang bicara. Kita bicara
karena kita cinta. Dan kita beraksi karena kita peduli.
0 komentar:
Posting Komentar