Pendidikan Seks Berbasis Gender
Rangkuman:
Remaja merupakan generasi penerus bangsa.
Mereka diharapkan menjadi agent of social
change yang mampu merubah nasib bangsa. Di sisi lain, dewasa ini perilaku
remaja semakin terdegradasi. Hal ini dibuktikan dengan maraknya perilaku seks
bebas di kalangan remaja. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan berbagai dampak
negatif.
Sejauh ini konsep pendidikan seks yang ada di dalam sekolah formal adalah
disampaikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran agama dan biologi. Materi
disampaikan secara konservatif dan dalam ruang yang sama antara siswa putra dan
putri. Akibatnya banyak siswa, termasuk siswa putri yang malu untuk mengekplore
pemahaman mereka terkait kesehatan reproduksi. Kondisi tersebut menyebabkan
subtansi dan esensi pendidikan seks justru tidak tersampaikan secara optimal.
Oleh sebab itu untuk mengatasi permasalahan
tersebut perlu dirumuskan kembali model pendidikan seks yang relevan untuk
remaja. Salah satu alternatif model pendidikan seks yang relevan adalah
pendidikan seks berbasis gender. Model ini sebagai upaya memperhatikan bahwa
sesungguhnya remaja putra dan putri memiliki kebutuhan berbeda, termasuk dalam
cara mendapatkan informasi terkait
kesehatan reproduksi.
Remaja merupakan tumpuan masa depan. Mereka diharapkan dapat menjadi generasi
penerus serta agent of social change
yang mampu merubah nasib bangsa di masa depan. Demikian pula dengan Indonesia,
negeri ini berharap besar pada remaja-remajanya untuk menyelesaikan serta
melakukan perbaikan atas berbagai persoalan yang terjadi. Indonesia cukup
beruntung karena menurut BPS (2010) jumlah remaja Indonesia mencapai 63 juta
jiwa, dengan rincian sebanyak 37,55 juta adalah remaja 25,45 adalah remaja
putri. Jumlah tersebut bila dioptimalkan dengan baik, maka mereka diproyeksikan
akan menjadi aset negara menuju kemakmuran Indonesia di tahun 2020 mendatang.
Namun realitanya, dewasa ini remaja Indonesia
menghadapi persoalan yang serius. Perilaku seks bebas di kalangan remaja semakin menggejolak.
Berdasarkan survei Komnas Perlindungan Anak yang dilakukan di 33 provinsi pada
tahun 2008 ditemukan bahwa remaja SMP dan SMA yang pernah berciuman, melakukan
masturbasi, dan oral seks mencapai 93,7%,
remaja SMP yang tidak perawan sebanyak 62,7%, serta remaja yang mengaku pernah
aborsi sebesar 21,2%. Perilaku seks bebas yang semakin mengkhawatirkan ini
menyebabkan banyaknya kasus kehamilan di luar nikah, aborsi, bahkan serangan
penyakit seksual seperti HIV dan AIDS di
kalangan remaja.
Perilaku seks bebas di kalangan remaja ini
tidak lagi memandang batas-batas sosial dan wilayah. Melalui hal-hal kecil
semacam budaya “pacaran” yang hanya sekedar bertemu hingga mengarah pada
berhubungan seks sejak usia dini, menjadikan remaja baik dari keluarga dengan
tingkat sosial menengah ke atas, maupun menengah ke bawah berpeluang melakukan
tindakan seks bebas. Remaja diperkotaan dengan akses pendidikan dan informasi
lebih baik, serta remaja pedesaan dengan kontrol sosial lebih ketat ternyata
sama-sama menjadi pelaku maupun korban dari seks bebas.
Kondisi tersebut membutuhkan perhatian
serius, sebab dampak destruktif mengancam masa depan remaja. Hal ini disebabkan
karena dari sisi fisik, psikologis, maupaun sosial budaya, perilaku seks bebas
selalu menimbulkan efek kurang baik. Oleh sebab itu remaja yang terjerumus ke
dalam perilaku seks bebas, banyak yang merasa dirugikan karena tidak dapat
menikmati hak-hak sebagaimana remaja semestinya.
Salah satu upaya yang harus dilaksanakan adalah dengan mengatasi
faktor-faktor yang berkontribusi menjadi penyebab terjadinya perilaku seks
bebas di kalangan remaja. Dari penelitian Chronika (2011) setidaknya ada empat faktor yang
menyebabkan remaja cenderung terjerumus ke dalam seks bebas. Dari empat faktor
tersebut dapat di analisis sebagai berikut:
1. 1. Nilai-nilai sosial budaya di masyarakat yang
semakin longgar
Fenomena menarik di negeri ini adalah adanya pergeseran norma
sosial dalam masyarakat dari tradisional-konservatif
menjadi lebih
permisif. Masyarakat cenderung apatis terhadap fenomena-fenomena sosial.
Masyarakat semakin sibuk dengan kepentingan pribadinya sehingga cenderung
mengabaikan nilai-nilai kepedulian sosial. Hal ini mendorong masyarakat,
termasuk remaja, lebih permisif terhadap tindakan negatif seperti halnya kecenderungan
pergaulan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat.
Rendahnya tingkat kepedulian masyarakat
terhadapat pergaulan pria dan wanita ini juga mengakibatkan pembiasaan terhadap
budaya pacaran. Padahal dahulu prosesi pacaran dianggap sebagai suatu hal yang
tabu dan bahkan sangat dilarang karena tidak sejalan dengan nilai dan norma
khususnya dalam pandangan agama yang pada saat itu sifatnya sangat mengikat
kuat terhadap masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa budaya pacaran
merupakan hal biasa yang dilakukan remaja. Tidak heran bila kini remaja mulai
berpacaran sejak berusia 12 tahun.
2. 2. Perkembangan teknologi dan informasi
Kecenderungan perilaku seks bebas semakin
meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual
melalui media massa yang dengan adanya tekhnologi yang semakin berkembang.
Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa
yang dilihat atau didengarnya dari media massa.
Internet sebagai salah satu media yang untuk
mengakses informasi menjadi salah satu media favorit untuk mengakses informasi
terkait seks. Oleh sebab itu pengguna internet di Indonesia yang menggunakan keyword “seks” untuk melakukan searching sangat banyak
3. Pendidikan seks dalam keluarga yang belum
maksimal
Faktor bimbingan dan pola asuh dari orang tua di rumah yang tidak peduli atau tidak terbuka
untuk membicarakan masalah seks pada anaknya juga menjadi faktor penyebab
maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja. Pada umumnya, orang tua baik
karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan
pembicaraan mengenai seks menjadi tidak terbuka kepada anak. Hal ini cenderung membuat jarak pada anak tentang masalah seks.
Selain itu, sekarang ini keluarga yang berada di kota cenderung
lemah dalam upaya pengawasan terhadap putra-putri mereka. Sudah merupakan suatu
pola kehidupan yang wajar dimana ayah dan ibu bekerja. Hal tersebut seringkali
mengakibatkan kehidupan anak-anak mereka kurang mendapatkan pengawasan dan
memiliki kebebasan yang terlalu besar. Bila pengawasan kurang, maka bisa dipastikan bahwa pendidikan seks pun akan sangat minim mereka dapatkan.
4.
Tidak adanya kebijkan pemerintah dalam bidang
pendidikan yang benar-benar efektif untuk mencegah perilaku seks bebas di
kalangan remaja.
Sejauh ini Informasi seks dan reproduksi yang
sehat hanya diperkenalkan dalam mata pelajaran Biologi SMP dan SMU, sedangkan
budaya dan nilai seks dapat diajarkan oleh guru agama (Lisminingsih &
Djuniawati, 2009). Pengintegrasian pendidikan seks pada mata pelajaran Biologi
dan Agama ternyata tidak begitu efektif. Cara penyampaiannya pun cenderung
konservatif dan disatukan antara siswa putra dan putri. Hal ini menyebabkan
siswa kurang tertarik serta malu untuk meng-explore pemahaman tentang kesehatan reproduksi
secara mendalam.
A. Analisis Pilihan Alternatif
Faktor
keluarga, lingkungan, dan teknologi informasi merupakan faktor yang cukup sulit
untuk di atasi tanpa adanya komitmen dari semua pihak. Sedangkan faktor
terakhir berupa pendidikan seks dalam sekolah formal merupakan satu faktor
penyebab yang paling mudah di atasi karena hanya membutuhkan komitmen satu
pihak, yaitu policy maker dalam
bidang pendidikan. Melalui kebijakan pendidikan yang mereka buat, sekolah dapat
mengimplementasikan konsep pendidikan seks yang paling relevan untuk siswa.
Namun sebelum kebijakan tersebut dibuat, terlebih dahulu dirumuskan
konsep-konsep pendidikan seks yang baik.
Kebijakan
pendidikan yang memperhatikan gender sesungguhnya telah dijamin dalam undang-undang. Menurut Nurhaeni (2008), melalui UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat 1 tentang sistem pendidikan
nasional menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia. Sedangkan kesehatan reproduksi sebagai bagian dari kesahatan secara umum juga
merupakan hak laki-laki dan perempuan (Jurnal Perempuan, 2007). Oleh sebab itu, permasalahan-permasalahan yang selama ini
terjadi dalam dunia pendidikan yang tidak memperhatikan gender (hak laki-laki
dan perempuan) harus segera di atasi karena sesungguhnya telah dijamin dalam undang-undang.
Alternatif
terbaik untuk mengatasi konsep pendidikan seks yang kurang relevan selama ini
adalah dengan merumuskan konsep pendidikan seks yang berbasis gender. Konsep
ini sebagai upaya untuk memperhatikan bahwa sesungguhnya remaja putra dan putri
memiliki kebutuhan berbeda, termasuk dalam cara
mendapatkan informasi terkait kesehatan reproduksi. Oleh sebab itu, dengan memperhatikan gender maka proses
transfer pengetahuan terkait kesehatan reproduksi ini dapat dilakukan secara
terpisah antara remaja putra dan putri sebagai upaya memperhatikan laki-laki
dan perempuan memiliki kebutuhan berbeda. Upaya ini disebut sebagai pendidikan
seks berbasis gender.
Bentuk-bentuk
pendidikan seks berbasis gender yang dapat dilakukan:
1.
Pendidikan Seks Terintegrasi ke dalam
pelajaran Biologi dan agama Islam
Mata pelajaran SMA
yang cenderung padat tidak memungkinkan menjadikan pendidikan seks sebagai mata
pelajaran mandiri. Jadi pendidikan seks tetap diintegrasikan ke dalam mata
pelajaran biologi dan agama. Hanya saja pada bab ini perlu dilakukan pemisahan
kelas antara siswa putra dan putri agar masing-masing mereka dapat mengeksplore
pemahaman akan kesehatan reproduksi lebih mendalam. Harapannya pesan dapat
tersampaikan dengan baik.
Kelebihan: Kelebihan model ini adalah siswa tidak perlu
menambah waktu belajar di sekolah karena materi disampaikan secara terintegrasi
ke dalam mata pelajaran biologi dan pendidikan agama islam.
Kelemahan: Kelemahan model ini adalah penyampaian materi
tentang kesehatan reproduksi yang menjadi substansi pendidikan seks tidak dapat
disampaikan secara komprehensif. Karena sebagaimana pada mata pelajaran sekolah
pada umumnya, materi di sampaikan per bab dengan tema yang berbeda. Otomatis
kesehatan reproduksi hanya akan disampaikan pada satu atau dua bab yang khusus
membahas itu, dimungkinkan waktu-waktu tersebut tidak mencukupi.
2.
Peer group
Masa remaja adalah masa-masa transisi. Pada
masa ini komunikasi dengan remaja merupakan persoalan yang sulit. Pentingnya peer group adalah agar penyampai materi merupakan teman sebaya yang lebih paham dalam bentuk sharing.
Siswa putra akan membentuk peer group
sesama putra, siswa putri akan membentuk peer
group dengan putri. Salah satu di antara teman mereka yang paling paham
dapat menjadi mentornya. Oleh sebab itu untuk melaksanakan pendidikan yang
demikian perlu adanya pelatihan sebelumnya terhadap beberapa siswa yang akan
menjadi coach dalam peer group.
Kelebihan: Materi akan lebih mudah diterima karena disampaikan oleh sesama teman
sebaya. Proses pembelajaran yang berlangsung akan lebih menarik karena
dikondisikan sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai seorang remaja.
Kelemahan: Karena anggota peer group adalah teman sebaya maka dimungkinkan kapasitas, kapabilitas, bahkan penguasaan mereka tentang materi
pendidikan belum optimal. Sehingga subtansi dan tujuan utama dari pendidikan
seks bisa saja tidak terwujud.
Model-model
di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemerintah dapat
memilih model yang paling memungkinkan untuk diterapkan di sekolah, atau dapat
juga sekolah sendiri yang memilih model. Namun demikian pendidikan seks yang
memperhatikan gender perlu dilakukan. Perempuan sebagai penerima akibat
terburuk dari perilaku seks bebas harus mendapat informasi sebaik-baiknya.
Dengan menerapkan pendidikan seks yang berbasis gender ini diharapkan perempuan
atau remaja putri memiliki pemahaman lebih, sehingga tidak menjadi pelaku
maupun korban dari seks bebas.
Selain
itu, menerapkan kebijakan pendidikan seks yang
relevan merupakan suatu urgensi untuk masa depan bangsa. Karena kesehatan
reproduksi dan segala aspeknya merupakan dasar dan awal dari proses
pengembangan sumber daya manusia yang sangat menentukan bagaimana kualitas dari
sumber daya manusia itu sendiri di masa mendatang.
Daftar Pustaka:
BPS. 2010. Persentase
Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Provinsi, Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan,
2009-2011 di akses dari bps.go.id pada tanggal 18 Februari 2013.
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni. 2008. Reformasi Kebijakan Pendidikan. Surakarta: LPP dan UNS Press.
Kartono Mohamad. 2007. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Lisminingsih,
Ratna Djuniawati, 2006. Peranan Guru
dalam Perkembangan Sikap dan Perilaku Seksual Remaja. Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Budi Utomo. Pusat Pengabdian kepada Masyarakat.
Roy
Chronika. 2011. Makna Seks Bebas Bagi
Pelajar SMP di Kota Padang. di
akses dari http://repository.unand.ac.id pada tanggal 15 Februari 2013.
0 komentar:
Posting Komentar