Minggu, 25 Agustus 2013




Pendidikan Seks Berbasis Gender






Rangkuman:
Remaja merupakan generasi penerus bangsa. Mereka diharapkan menjadi agent of social change yang mampu merubah nasib bangsa. Di sisi lain, dewasa ini perilaku remaja semakin terdegradasi. Hal ini dibuktikan dengan maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan berbagai dampak negatif.
Sejauh ini konsep pendidikan seks yang ada di dalam sekolah formal adalah disampaikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran agama dan biologi. Materi disampaikan secara konservatif dan dalam ruang yang sama antara siswa putra dan putri. Akibatnya banyak siswa, termasuk siswa putri yang malu untuk mengekplore pemahaman mereka terkait kesehatan reproduksi. Kondisi tersebut menyebabkan subtansi dan esensi pendidikan seks justru tidak tersampaikan secara optimal.
Oleh sebab itu untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dirumuskan kembali model pendidikan seks yang relevan untuk remaja. Salah satu alternatif model pendidikan seks yang relevan adalah pendidikan seks berbasis gender. Model ini sebagai upaya memperhatikan bahwa sesungguhnya remaja putra dan putri memiliki kebutuhan berbeda, termasuk dalam cara  mendapatkan informasi terkait kesehatan reproduksi.

Remaja merupakan tumpuan masa depan. Mereka diharapkan dapat menjadi generasi penerus serta agent of social change yang mampu merubah nasib bangsa di masa depan. Demikian pula dengan Indonesia, negeri ini berharap besar pada remaja-remajanya untuk menyelesaikan serta melakukan perbaikan atas berbagai persoalan yang terjadi. Indonesia cukup beruntung karena menurut BPS (2010) jumlah remaja Indonesia mencapai 63 juta jiwa, dengan rincian sebanyak 37,55 juta adalah remaja 25,45 adalah remaja putri. Jumlah tersebut bila dioptimalkan dengan baik, maka mereka diproyeksikan akan menjadi aset negara menuju kemakmuran Indonesia di tahun 2020 mendatang.
Namun realitanya, dewasa ini remaja Indonesia menghadapi persoalan yang serius. Perilaku seks bebas di kalangan remaja semakin menggejolak. Berdasarkan survei Komnas Perlindungan Anak yang dilakukan di 33 provinsi pada tahun 2008 ditemukan bahwa remaja SMP dan SMA yang pernah berciuman, melakukan masturbasi, dan oral seks  mencapai 93,7%, remaja SMP yang tidak perawan sebanyak 62,7%, serta remaja yang mengaku pernah aborsi sebesar 21,2%. Perilaku seks bebas yang semakin mengkhawatirkan ini menyebabkan banyaknya kasus kehamilan di luar nikah, aborsi, bahkan serangan penyakit seksual seperti HIV dan AIDS  di kalangan remaja.
Perilaku seks bebas di kalangan remaja ini tidak lagi memandang batas-batas sosial dan wilayah. Melalui hal-hal kecil semacam budaya “pacaran” yang hanya sekedar bertemu hingga mengarah pada berhubungan seks sejak usia dini, menjadikan remaja baik dari keluarga dengan tingkat sosial menengah ke atas, maupun menengah ke bawah berpeluang melakukan tindakan seks bebas. Remaja diperkotaan dengan akses pendidikan dan informasi lebih baik, serta remaja pedesaan dengan kontrol sosial lebih ketat ternyata sama-sama menjadi pelaku maupun korban dari seks bebas.
Kondisi tersebut membutuhkan perhatian serius, sebab dampak destruktif mengancam masa depan remaja. Hal ini disebabkan karena dari sisi fisik, psikologis, maupaun sosial budaya, perilaku seks bebas selalu menimbulkan efek kurang baik. Oleh sebab itu remaja yang terjerumus ke dalam perilaku seks bebas, banyak yang merasa dirugikan karena tidak dapat menikmati hak-hak sebagaimana remaja semestinya.
Salah satu upaya yang harus dilaksanakan adalah dengan mengatasi faktor-faktor yang berkontribusi menjadi penyebab terjadinya perilaku seks bebas di kalangan remaja. Dari penelitian Chronika (2011) setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan remaja cenderung terjerumus ke dalam seks bebas. Dari empat faktor tersebut dapat di analisis sebagai berikut:

1.                                                     1. Nilai-nilai sosial budaya di masyarakat yang semakin longgar
Fenomena menarik di negeri ini adalah adanya pergeseran norma sosial dalam masyarakat dari tradisional-konservatif menjadi lebih permisif. Masyarakat cenderung apatis terhadap fenomena-fenomena sosial. Masyarakat semakin sibuk dengan kepentingan pribadinya sehingga cenderung mengabaikan nilai-nilai kepedulian sosial. Hal ini mendorong masyarakat, termasuk remaja, lebih permisif terhadap tindakan negatif seperti halnya kecenderungan pergaulan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat.
Rendahnya tingkat kepedulian masyarakat terhadapat pergaulan pria dan wanita ini juga mengakibatkan pembiasaan terhadap budaya pacaran. Padahal dahulu prosesi pacaran dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan bahkan sangat dilarang karena tidak sejalan dengan nilai dan norma khususnya dalam pandangan agama yang pada saat itu sifatnya sangat mengikat kuat terhadap masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa budaya pacaran merupakan hal biasa yang dilakukan remaja. Tidak heran bila kini remaja mulai berpacaran sejak berusia 12 tahun.
2.                                                     2. Perkembangan teknologi dan informasi
Kecenderungan perilaku seks bebas semakin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya tekhnologi yang semakin berkembang. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa.
Internet sebagai salah satu media yang untuk mengakses informasi menjadi salah satu media favorit untuk mengakses informasi terkait seks. Oleh sebab itu pengguna internet di Indonesia yang menggunakan keyword “seks” untuk melakukan searching sangat banyak
3. Pendidikan seks dalam keluarga yang belum maksimal
Faktor bimbingan dan pola asuh dari orang tua di rumah yang tidak peduli atau tidak terbuka untuk membicarakan masalah seks pada anaknya juga menjadi faktor penyebab maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja. Pada umumnya, orang tua baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks menjadi tidak terbuka kepada anak. Hal ini cenderung membuat jarak pada anak tentang masalah seks.
Selain itu, sekarang ini keluarga yang berada di kota cenderung lemah dalam upaya pengawasan terhadap putra-putri mereka. Sudah merupakan suatu pola kehidupan yang wajar dimana ayah dan ibu bekerja. Hal tersebut seringkali mengakibatkan kehidupan anak-anak mereka kurang mendapatkan pengawasan dan memiliki kebebasan yang terlalu besar. Bila pengawasan kurang, maka bisa dipastikan bahwa pendidikan seks pun akan sangat minim mereka dapatkan.
               4.      Tidak adanya kebijkan pemerintah dalam bidang pendidikan yang benar-benar efektif untuk mencegah perilaku seks bebas di kalangan remaja.
Sejauh ini Informasi seks dan reproduksi yang sehat hanya diperkenalkan dalam mata pelajaran Biologi SMP dan SMU, sedangkan budaya dan nilai seks dapat diajarkan oleh guru agama (Lisminingsih & Djuniawati, 2009). Pengintegrasian pendidikan seks pada mata pelajaran Biologi dan Agama ternyata tidak begitu efektif. Cara penyampaiannya pun cenderung konservatif dan disatukan antara siswa putra dan putri. Hal ini menyebabkan siswa kurang tertarik serta malu untuk meng-explore pemahaman tentang kesehatan reproduksi secara mendalam.

A.    Analisis Pilihan Alternatif
Faktor keluarga, lingkungan, dan teknologi informasi merupakan faktor yang cukup sulit untuk di atasi tanpa adanya komitmen dari semua pihak. Sedangkan faktor terakhir berupa pendidikan seks dalam sekolah formal merupakan satu faktor penyebab yang paling mudah di atasi karena hanya membutuhkan komitmen satu pihak, yaitu policy maker dalam bidang pendidikan. Melalui kebijakan pendidikan yang mereka buat, sekolah dapat mengimplementasikan konsep pendidikan seks yang paling relevan untuk siswa. Namun sebelum kebijakan tersebut dibuat, terlebih dahulu dirumuskan konsep-konsep pendidikan seks yang baik.
Kebijakan pendidikan yang memperhatikan gender sesungguhnya telah dijamin dalam undang-undang. Menurut Nurhaeni (2008), melalui UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat 1 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sedangkan kesehatan reproduksi sebagai bagian dari kesahatan secara umum juga merupakan hak laki-laki dan perempuan (Jurnal Perempuan, 2007). Oleh sebab itu, permasalahan-permasalahan yang selama ini terjadi dalam dunia pendidikan yang tidak memperhatikan gender (hak laki-laki dan perempuan) harus segera di atasi karena sesungguhnya telah dijamin dalam undang-undang.
Alternatif terbaik untuk mengatasi konsep pendidikan seks yang kurang relevan selama ini adalah dengan merumuskan konsep pendidikan seks yang berbasis gender. Konsep ini sebagai upaya untuk memperhatikan bahwa sesungguhnya remaja putra dan putri memiliki kebutuhan berbeda, termasuk dalam cara  mendapatkan informasi terkait kesehatan reproduksi. Oleh sebab itu, dengan memperhatikan gender maka proses transfer pengetahuan terkait kesehatan reproduksi ini dapat dilakukan secara terpisah antara remaja putra dan putri sebagai upaya memperhatikan laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan berbeda. Upaya ini disebut sebagai pendidikan seks berbasis gender.
Bentuk-bentuk pendidikan seks berbasis gender yang dapat dilakukan:
1.      Pendidikan Seks Terintegrasi ke dalam pelajaran Biologi dan agama Islam
Mata pelajaran SMA yang cenderung padat tidak memungkinkan menjadikan pendidikan seks sebagai mata pelajaran mandiri. Jadi pendidikan seks tetap diintegrasikan ke dalam mata pelajaran biologi dan agama. Hanya saja pada bab ini perlu dilakukan pemisahan kelas antara siswa putra dan putri agar masing-masing mereka dapat mengeksplore pemahaman akan kesehatan reproduksi lebih mendalam. Harapannya pesan dapat tersampaikan dengan baik.
Kelebihan: Kelebihan model ini adalah siswa tidak perlu menambah waktu belajar di sekolah karena materi disampaikan secara terintegrasi ke dalam mata pelajaran biologi dan pendidikan agama islam.
Kelemahan: Kelemahan model ini adalah penyampaian materi tentang kesehatan reproduksi yang menjadi substansi pendidikan seks tidak dapat disampaikan secara komprehensif. Karena sebagaimana pada mata pelajaran sekolah pada umumnya, materi di sampaikan per bab dengan tema yang berbeda. Otomatis kesehatan reproduksi hanya akan disampaikan pada satu atau dua bab yang khusus membahas itu, dimungkinkan waktu-waktu tersebut tidak mencukupi.
2.      Peer group
Masa remaja adalah masa-masa transisi. Pada masa ini komunikasi dengan remaja merupakan persoalan yang sulit. Pentingnya peer group adalah agar penyampai materi merupakan teman sebaya yang lebih paham dalam bentuk sharing. Siswa putra akan membentuk peer group sesama putra, siswa putri akan membentuk peer group dengan putri. Salah satu di antara teman mereka yang paling paham dapat menjadi mentornya. Oleh sebab itu untuk melaksanakan pendidikan yang demikian perlu adanya pelatihan sebelumnya terhadap beberapa siswa yang akan menjadi coach dalam peer group.
Kelebihan:  Materi akan lebih mudah diterima karena disampaikan oleh sesama teman sebaya. Proses pembelajaran yang berlangsung akan lebih menarik karena dikondisikan sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai seorang remaja.
  Kelemahan: Karena anggota peer group adalah teman sebaya maka dimungkinkan  kapasitas, kapabilitas, bahkan penguasaan mereka tentang materi pendidikan belum optimal. Sehingga subtansi dan tujuan utama dari pendidikan seks bisa saja tidak terwujud.
Model-model di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pemerintah dapat memilih model yang paling memungkinkan untuk diterapkan di sekolah, atau dapat juga sekolah sendiri yang memilih model. Namun demikian pendidikan seks yang memperhatikan gender perlu dilakukan. Perempuan sebagai penerima akibat terburuk dari perilaku seks bebas harus mendapat informasi sebaik-baiknya. Dengan menerapkan pendidikan seks yang berbasis gender ini diharapkan perempuan atau remaja putri memiliki pemahaman lebih, sehingga tidak menjadi pelaku maupun korban dari seks bebas.
Selain itu, menerapkan kebijakan pendidikan seks yang relevan merupakan suatu urgensi untuk masa depan bangsa. Karena kesehatan reproduksi dan segala aspeknya merupakan dasar dan awal dari proses pengembangan sumber daya manusia yang sangat menentukan bagaimana kualitas dari sumber daya manusia itu sendiri di masa mendatang.

Daftar Pustaka:
BPS. 2010. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Provinsi, Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan, 2009-2011 di akses dari bps.go.id  pada tanggal 18 Februari 2013.
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni. 2008. Reformasi Kebijakan Pendidikan. Surakarta: LPP dan UNS Press.
Kartono Mohamad. 2007. Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Lisminingsih, Ratna Djuniawati, 2006. Peranan Guru dalam Perkembangan Sikap dan Perilaku Seksual Remaja. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Budi Utomo. Pusat Pengabdian kepada Masyarakat.
Roy Chronika. 2011. Makna Seks Bebas Bagi Pelajar SMP di Kota Padang. di akses dari http://repository.unand.ac.id  pada tanggal 15 Februari 2013.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates